Paradigma yang ingin dibangun dalam KUHP baru adalah dekolonialisasi. Namun, masyarakat sipil menilai, sejumlah ketentuan dalam KUHP masih setengah kolonial.

Dalam periode tiga tahun, sosialisasi kepada publik dan kepada penegak hukum diperlukan agar tak terjadi penafsiran bebas pasal oleh penegak hukum.

Sekitar 20 orang dari AJI Padang dan lembaga pers mahasiswa menggelar aksi damai di Kota Padang, Sumbar, menuntut pencabutan 17 pasal dalam RKUHP yang berpotensi mengekang kebebasan pers.

Pakar hukum pidana Agustinus Pohan berpandangan, di Indonesia, hukum adat memang diperlukan. Namun, caranya tidak tepat jika dimasukkan dalam RKUHP. Sebab, ada prinsip asas legalitas atau aturan seseorang dapat dipidana.

”Belum semua masukan dari kami (soal RKUHP) diadopsi pemerintah. Besok (14/11) ada agenda rapat dengar pendapat di DPR dengan aliansi. Akan kami perjuangkan lagi usulan itu,” kata peneliti ICJR, Maidina Rahmawati.

Pembahasan RKUHP diharapkan menerapkan prinsip partisipasi publik bermakna. Ini berarti sosialisasi harus dilakukan melalui diskusi produktif, bukan paparan satu arah dari pembentuk undang-undang.

Masyarakat sipil berharap agar keinginan Presiden supaya RKUHP didiskusikan kembali dengan masyarakat dapat direalisasikan dengan membahas semua pasal RKUHP yang bermasalah. Pembahasan dilakukan di ruang diskusi terbuka.

Pasal 429 RKUHP memuat ketentuan, setiap orang yang bergelandangan di jalan atau tempat umum yang mengganggu ketertiban dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I, yakni Rp 1juta.