Kesejahteraan buruh di Indonesia belum bertumbuh sejalan dengan membaiknya kinerja sektor manufaktur.

Sistem kerja fleksibel berpotensi mengganggu praktik hubungan industrial yang sudah mapan, dan akan melemahkan kekuatan serikat buruh akibat tingginya arus keluar-masuk pekerja. Perlindungan bagi pekerja menjadi rentan.

Dalam banyak kasus, hambatan daya saing dan investasi lebih banyak bersumber dari birokrasi yang berbelit, ekonomi biaya tinggi, buruknya infrastruktur, maraknya pungutan, dan sistem perpajakan yang tidak kompetitif.

Pertemuan Apeksi kembali membahas berbagai hal yang menjadi persoalan bersama, di antaranya implementasi UU Cipta Kerja hingga penghapusan tenaga kontrak. Butuh solusi tepat agar tak menimbulkan gejolak di daerah.

Putusan MK menjadi pembelajaran bagi pemerintah dan DPR. Salah satunya ialah karena pengalaman membuat ”omnibus law” masih sangat baru di Indonesia. Wajar jika MK memberikan koreksi dan perbaikan.

DPR akan menindaklanjuti keputusan MK terkait UU Cipta Kerja. Upaya tindak lanjut putusan MK itu, antara lain, dapat dilakukan dengan merevisi pembentukan UU Cipta Kerja agar selaras dengan amar putusan MK.

Masyarakat sipil menilai, sosialisasi Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP yang dilakukan pemerintah selama ini dijalankan satu arah. Pembahasan rancangan undangan-undang itu dinilai tak libatkan publik.

Unjuk rasa untuk menolak pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja mulai terjadi di Yogyakarta, Rabu (7/10/2020). Demonstran menilai UU tersebut menghilangkan perlindungan kepada buruh dan tenaga kerja.