Di tahun 2022, pendidikan kesehatan reproduksi global masih minim dan perempuan yang menanggung dengan kehamilan tak diinginkan serta risiko aborsi ilegal.

Isu seksualitas masih tabu dibahas di kalangan masyarakat. Kondisi itu mengakibatkan persoalan seksualitas atau kesehatan reproduksi sulit dibicarakan secara gamblang dan tuntas.

Diperkirakan sejumlah 3.000 anak perempuan usia 10-14 tahun sudah melahirkan pada 2015. Kondisi ini bisa memperberat upaya pembangunan ekonomi maupun pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Penutupan sekolah dan kampus akibat pembatasan sosial dan karantina wilayah di masa pandemi Covid-19 membuat penjangkauan, edukasi, dan penyebaran informasi kesehatan reproduksi kepada anak muda dan remaja makin sulit.

Hingga kini tidak ada fasilitas kesehatan yang ditegaskan sebagai pengampu layanan sesuai Permenkes No 3/2016. Di satu sisi, pendidikan kesehatan reproduksi dan program keluarga berencana juga tidak sepenuhnya berjalan.

Pendidikan kesehatan reproduksi yang sesuai dengan umur, budaya, dan konteks kehidupan akan membekali anak-anak, terutama remaja, untuk bersikap dan menentukan kehidupan seksual dan sosial mereka.

Pendidikan kesehatan reproduksi tidak hanya mengenai pendidikan seks, tetapi lebih luas lagi, yaitu tentang siklus kehidupan reproduksi perempuan dan laki-laki. Pendidikan ini diharapkan masuk kurikulum di sekolah.

Perspektif dan paradigma sekolah dan orangtua sebagai pihak yang bisa memberikan informasi kesehatan reproduksi seksual dan benar kepada remaja nyaris tak berubah.