Jelantah atau minyak goreng bekas oleh warga Karangklesem, Purwokerto, Kabupaten Banyumas, dikumpulkan dan jadi ladang untuk bersedekah. Penjualan aneka rongsok dan jelantah disalurkan bagi warga yang membutuhkan.

Uni Eropa menjadi salah satu pihak yang banyak mengimpor minyak jelantah dari Indonesia. Di sisi lain, Uni Eropa menerapkan hambatan perdagangan terhadap produk CPO, bahan dasar minyak jelantah dari Indonesia.

Mulai dari restoran, warung-warung, pedagang kaki lima, hingga ibu rumah tangga menggunakan minyak goreng sehari-hari untuk menggoreng bahan makanan. Lantas ke mana perginya sisa limbah minyak goreng atau jelantah itu?

Meski melimpah di Indonesia, belum ada aturan spesifik menyebutkan jelantah sebagai limbah maupun larangan penggunaannya untuk bahan baku konsumsi. Sementara jelantah marak digunakan sebagai bahan baku industri makanan.

Jelantah, used cooking oil or waste cooking oil, is traded among home-based businesses in the cottage food industry as raw material with minimal supervision in the business ecosystem.

Claiming to have limited capital, food businesses are turning to jelantah (used cooking oil) to cut on production costs while ignoring the health of consumers.

Meski diiringi sejumlah pembenaran, para pelaku usaha nakal sebenarnya menyadari penggunaan jelantah merupakan kekeliruan. Motif ekonomi cenderung membuat mereka nekat memakai jelantah untuk konsumsi.

Jelantah yang sebenarnya tak layak konsumsi ternyata masih ditemukan di sejumlah usaha rumahan. Mereka sengaja membeli jelantah untuk menekan ongkos produksi.