Celah pada konstitusi saat ini dinilai mengakibatkan terjadinya penyelewengan dalam proses demokrasi di Indonesia.

Prinsip kedaulatan rakyat telah menempatkan rakyat sebagai pemilik kekuasaan tertinggi sehingga semua lembaga negara, termasuk MPR, sebenarnya mengemban daulat rakyat.

Salah satunya, menguatnya model koalisi mayoritarian dan semakin menghilangnya oposisi di perlemen. Hal ini membuat fungsi-fungsi lembaga legislatif pada akhirnya hanya menjadi stempel penguasa.

Perubahan pertama hingga keempat UUD 1945 selalu mendapat dorongan kuat dari publik dan didukung parpol. Namun, untuk usulan perubahan kelima, tak ada dorongan kuat dari rakyat dan diajukan elite penguasa.

Amendemen terhadap pasal-pasal UUD 1945 sebaiknya dilakukan secara komprehensif untuk menghindari munculnya kepentingan elite politik yang muncul selama proses pembahasan.

Opsi undang-undang sebagai dasar hukum haluan negara tak perlu amendemen konstitusi. Ketetapan MPR pun dinilai dimungkinkan tanpa melalui amendemen.

Amendemen konstitusi adalah wujud renegosiasi kontrak sosial, yang harus dikelola secara sakral. Karena dalam demokrasi yang sakral adalah kehendak rakyat, maka amendemen konstitusi harus mendapat kesepakatan rakyat.

Dalam pengalaman sebagai anggota MPR dan DPR serta kini sebagai anggota MPR dan DPD, tentu saja disadari bahwa politik itu cair. Dukungan dalam sebuah keputusan politik besar seperti amandemen, tidak selalu tegak lurus.