UU Pokok Agraria: Tonggak Keadilan Pertanahan
Sebagai kesatuan masyarakat agraris dan adat, Undang-Undang Pokok Agraria Indonesia menjadi produk hukum yang penting bagi penjaminan kebutuhan tanah masyarakat. Kehadirannya telah melalui proses yang panjang dan menjadi tonggak penting bagi keadilan pertanahan di masyarakat Indonesia.
Keagrariaan dan Indonesia adalah dua konsepsi yang begitu lekat, baik dalam konteks pra-kemerdekaan hingga Revolusi 4.0. Kedekatan tersebut tak lepas dari catatan historis Indonesia dengan banyaknya penduduk yang bekerja dalam sektor pertanian. Data BPS tahun 2021 menunjukkan bahwa hampir 30 persen (atau 29,76 persen) penduduk Indonesia bekerja dalam sektor pertanian. Selain itu, posisi geografis Indonesia memberikan berkah lahan yang subur untuk mendukung pertanian. Kondisi tersebut mendukung pertanian menjadi sektor penyumbang terbesar kedua bagi PDB Indonesia. Kontribusinya mencapai Rp2,25 kuadriliun atau setara 13,28 persen dari total PDB tahun 2021.
Selain dalam dimensi produksi dan pertanian, terdapat pula kelompok-kelompok dalam masyarakat Indonesia yang melihat tanah dalam dimensi magis-kosmis atau sesuatu yang sakral. Kelompok ini merupakan bagian dari kesatuan sistem masyarakat adat yang beragam dengan masing-masing memiliki budaya panjang yang mengakar. Dalam kepercayaan kelompok masyarakat adat, tanah dipandang sebagai bentuk hubungan mereka dengan leluhur maupun Sang Pencipta. Seperti pada masyarakat adat Baduy yang memiliki ketentuan adat βGunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak, sasaka teu meunang dirempakβ. Kepercayaan demikian membuat tanah tidak terbatas pada status kepemilikan, namun juga penggunaan dan pemaknaannya.