Reforma agraria harus dijauhkan dari kepentingan politik pragmatis sempit. Keadilan agraria harus diperjuangkan.

Pemerintah dinilai belum serius menangani problem agraria. Akibatnya, konflik bermetamorfosis menjadi semakin kompleks.

Redistribusi tanah di kawasan hutan masih menjadi pekerjaan rumah besar pemerintah kerena baru terealisasi 9,2 persen.

Di desa yang dianggap masuk ke area konsesi, dana desa tidak bisa sepenuhnya dipergunakan untuk pembangunan desa. Ini harus menjadi prioritas perhatian pemerintah dan DPR.

Kontestasi politik praktis pada 2023 dan 2024 akan memengaruhi nasib reforma agraria. Agar Indonesia menjadi lebih baik, mesti dipilih pemimpin yang punya karakter kepemimpinan kuat dalam melaksanakan reforma agraria.

Perkebunan skala besar komoditas tanaman ekspor, yang kini didominasi sawit, adalah ujian bagi reforma agraria. Dominasi ini menciptakan kesenjangan dan ketidakadilan, dan karena itu perlu diatasi.

Kuatnya ego sektoralisme menjadi penyebab rendahnya capaian reforma agraria selama ini. Perlu harmonisasi di tataran legislasi dan regulasi pertanahan dan kehutanan agar ego sektoralisme agraria bisa dihela.

Dipilihnya Hadi Tjahjanto sebagai Menteri ATR/Kepala BPN oleh Presiden Jokowi baru-baru ini membawa angin segar bagi percepatan pelaksanaan reforma agraria.