logo Kompas.id
Politik & HukumTerus Diwariskan, Konflik...
Iklan

Terus Diwariskan, Konflik Agraria Tak Berkesudahan

Pemerintah dinilai belum serius menangani problem agraria. Akibatnya, konflik bermetamorfosis menjadi semakin kompleks.

Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN, HENDRIYO WIDI, PRADIPTA PANDU
· 4 menit baca
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (kiri) Dewi Sartika saat diskusi peluncuran Catatan Akhir Tahun 2023, di Jakarta, Senin (15/1/2024).
KOMPAS/WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (kiri) Dewi Sartika saat diskusi peluncuran Catatan Akhir Tahun 2023, di Jakarta, Senin (15/1/2024).

JAKARTA, KOMPAS — Kemampuan negara untuk menyelesaikan konflik agraria dinilai tidak seimbang dengan letusan konflik yang muncul. Pembiaran terhadap konflik terus berulang dan menjadi warisan turun-temurun dari setiap pemerintahan. Akibatnya, konflik berkembang dan bermetamorfosis menjadi sesuatu yang lebih kompleks.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam Catatan Akhir Tahun 2023 menyebut, ada 2.939 letusan konflik yang mencakup 6,3 juta hektar lahan dan 1,759 juta keluarga korban selama kurun waktu 2015-2023. Sebagian dari jumlah itu berasal dari konflik-konflik yang tak kunjung menemui titik terang.

Dari 851 lokasi yang menjadi prioritas reforma agraria, capaian redistribusi tanah dan penyelesaian konflik baru mencapai 21 LPRA (lokasi prioritas reforma agraria) dengan total 5.400 hektar (ha) untuk 7.690 keluarga. Dua di antaranya masih menunggu penerbitan surat keputusan redistribusi. Adapun 830 LPRA lainnya belum diretribusi dan masih larut dalam konflik berkepanjangan.

Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika, saat peluncuran Catatan Akhir Tahun 2023, di Jakarta, Senin (15/1/2024), mengatakan, polemik konflik agraria di Indonesia sudah bermula sejak era kolonial. Namun, hingga kini pemerintah belum serius menangani permasalahan agraria nasional, termasuk konfliknya.

https://cdn-assetd.kompas.id/KSx1rrx5zDAChXdpI2vyRrm-gOg=/1024x1331/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F15%2F4d9c8e5a-6e61-494b-afa0-d77277d64a58_png.png

”Kapan akan tuntas (konfliknya), konfliknya terus diwariskan turun-temurun oleh pemerintah. Nanti, saling tuduh konflik agraria ini dari presiden sebelumnya. Padahal, jumlah konfliknya terus terakumulasi dan sewaktu-waktu bisa terjadi ledakan konflik agraria multidimensi,” ujarnya.

Sebagai contoh, lanjut Dewi, konflik agraria di Desa Batulawang, Cianjur, Jawa Barat, yang menjadi warisan sejak Orde Baru. Konflik ini melibatkan warga dan tanah hak guna usaha (HGU) suatu perusahaan. Karena tidak menemui titik temu, lahan bekas HGU itu kini diklaim sebagai milik bank tanah setelah hadirnya Undang-Undang Cipta Kerja.

Konflik lama belum selesai, sudah muncul konflik-konflik baru. Konflik lama makin rumit, makin karut-marut.

Peristiwa di Batulawang merupakan salah satu contoh metamorfosis konflik agraria yang kian kompleks. Dari awalnya hanya melibatkan warga dan tanah eks HGU, kini ada bank tanah, bahkan salah satu bagian institusi kepolisian. ”Konflik lama belum selesai, sudah muncul konflik-konflik baru. Konflik lama makin rumit, makin karut-marut,” katanya.

Adapun konflik agraria yang baru salah satunya dipicu oleh proyek strategis nasional (PSN). KPA mencatat, selama kurun waktu 2020-2023, terdapat 115 letusan konflik agraria akibat PSN. Sedikitnya PSN melibatkan 516.409 ha lahan dan 85.555 keluarga.

Baca juga: Sembilan Tahun Berjalan, Capaian Reforma Agraria Masih Timpang

Selain konflik, korban kekerasan juga meningkat. Selama era Presiden Joko Widodo, 3.503 orang yang memperjuangkan hak atas tanah menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi. Sebanyak 78 orang di antaranya tertembak dan 72 orang tewas.

Menurut Dewi, metode pemerintah dalam reforma agraria harus berubah, khususnya pada pendekatan aparat dan diskriminasi hukum. ”Presiden mendatang harus membentuk kelembagaan untuk memimpin reforma agraria. Kemudian, bentuk aturan setingkat undang-undang terhadap reforma agraria. Juga reformasi sejumlah lembaga untuk mengefektifkan program,” katanya.

Iklan
Salah satu petani dari Desa Gunung Anten, Kecamatan Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, Minggu (7/1/2024), saat menunjukkan sertifikat tanah skema hak kepemilikan bersama atau komunal. Sertifikat ini diberikan pemerintah kepada masyarakat Gunung Anten pada Oktober 2023 sebagai bentuk realisasi program reforma agraria.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU

Salah satu petani dari Desa Gunung Anten, Kecamatan Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, Minggu (7/1/2024), saat menunjukkan sertifikat tanah skema hak kepemilikan bersama atau komunal. Sertifikat ini diberikan pemerintah kepada masyarakat Gunung Anten pada Oktober 2023 sebagai bentuk realisasi program reforma agraria.

Anggota Ombudsman RI Dadan Suparjo Suharmawijaya menyampaikan pendapat senada. Sebanyak 292 laporan diterima Ombudsman RI terkait agraria dan pertanahan hingga semester III-2023. Hal ini menunjukkan agraria menjadi masalah riil di lapangan.

”Saya membenarkan adanya krisis agraria pada dekade ini. Krisis ini akan terus ada, bahkan warisan dari sebelumnya. Krisis ini akan terus ada dan menghantui negara kalau pemerintah tidak menyelesaikannya,” ujarnya.

Baca juga: Semringah Petani Gunung Anten dengan Sertifikat Tanah

Menurut Dadan, pemerintah harus segera menyelesaikan polemik pendataan tanah. Saat ini negara tampak ”tersesat” dalam mengimplementasi reforma agraria karena sebatas sertifikasi lahan. Apabila tidak berubah, krisis agraria akan berlanjut.

Ego sektoral

Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Saurlin P Siagian, berpendapat, setiap era kepemimpinan selalu meninggalkan konflik agraria yang belum selesai. Sumber dan pihak yang terlibat konflik pun cenderung sama, antara lain korporasi serta pemerintah daerah dan pusat.

Rumah masyarakat Desa Gunung Anten, Kecamatan Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, Minggu (7/1/2024), Sejumlah masyarakat Gunung Anten yang mayoritas berprofesi sebagai petani telah mendapat redistribusi tanah sebagai realisasi program reforma agraria.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU

Rumah masyarakat Desa Gunung Anten, Kecamatan Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, Minggu (7/1/2024), Sejumlah masyarakat Gunung Anten yang mayoritas berprofesi sebagai petani telah mendapat redistribusi tanah sebagai realisasi program reforma agraria.

Salah satu faktor penyebabnya adalah ego sektoral antar-instansi. Masalah pertanahan diklaim melibatkan banyak pihak, seperti Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kementerian Keuangan, dan pihak lainnya.

Upaya menyelesaikan konflik agraria di Indonesia dinilai perlu melihat akar permasalahan yang terjadi sejak puluhan tahun lalu. Bahkan, secara historis, konflik agraria yang ditandai dengan klaim sepihak dari penguasa dan menyingkirkan peran masyarakat sudah terjadi sejak ratusan tahun lalu pada masa kolonial Hindia-Belanda.

Guru Besar Hukum Agraria Universitas Brawijaya Achmad Sodiki berpendapat, meski memiliki sejarah puluhan hingga ratusan tahun, upaya penyelesaian konflik agraria di Indonesia masih kerap terhambat oleh sejumlah regulasi.

Berbagai kebijakan, seperti UU Cipta Kerja dan aturan turunannya, juga dianggap menghambat terwujudnya reforma agraria sejati. Sebab, kebijakan tersebut mengatur jangka waktu HGU hingga puluhan tahun sehingga berpotensi melanggengkan ketimpangan penguasaan lahan antara pihak perusahaan dan masyarakat.

Baca juga: Mengurai Regulasi, Menanti Janji Redistribusi

https://cdn-assetd.kompas.id/46ihZwMYcVcckqlBojOZbtsIXMA=/1024x1354/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F16%2F3b3eeec0-969c-430a-a973-135d737436b3_png.png

Sodiki menegaskan, konflik agraria bisa diselesaikan jika negara memperlakukan masyarakat dengan lebih manusiawi. Konflik juga bisa dihindari jika negara ataupun pihak swasta berdialog dengan masyarakat dan memberikan kompensasi atau ganti rugi dengan nominal yang besar ketika lahan mereka dibebaskan untuk tujuan pembangunan.

Sebelumnya, Menteri ATR/Kepala BPN Hadi Tjahjanto menyatakan, di tahun terakhir kepemimpinan Jokowi, pihaknya berkomitmen untuk menggarap ”pekerjaan rumah” program reforma agraria yang masih belum kelar. Jika masih belum rampung hingga akhir tahun ini, Hadi akan meminta Menteri ATR/Kepala BPN dalam kepemimpinan pemerintahan yang baru menjaga keberlanjutan program.

Kementerian ATR/BPN menargetkan legalisasi aset pada 2024 dapat mencapai 120 juta bidang dari total 126 juta bidang. Sisanya 6 juta bidang akan diserahkan ke pemerintahan baru. Kementerian ATR/BPN juga terus berkoordinasi dengan KLHK agar redistribusi tanah bagi masyarakat di 21.283 desa di kawasan hutan bisa terealisasi.

Editor:
MUKHAMAD KURNIAWAN
Bagikan