Inilah kisah tegangan dua saudara kembar di dalam sistem politik dunia, populisme dan demokrasi.

Politisi kerap menggunakan isu rakyat kecil untuk mendulang suara. Tapi, dalam hidup sehari-hari, mereka acap diabaikan.

Diperlukan upaya berkelanjutan dan kolaborasi dari berbagai pihak untuk menjaga demokrasi tetap hidup dan berkelanjutan.

Populis tak menyukai lembaga demokrasi yang selama ini ditugasi mengawasi pembagian kekuasaan.

Populisme diyakini lahir dari demokrasi yang cacat. Karena itu munculnya populisme semestinya direspons sebagai sebuah tuntutan bagi institusi demokrasi, baik eksekutif dan legislatif, untuk lebih aspiratif.

Meski ada optimisme bahwa kebijakan pemerintahan Joe Biden dan pelaksanaannya selama empat tahun ke depan akan memuaskan cukup banyak pemilihnya. Namun, keberangan puluhan juta pendukung Trump perlu diingat pula.

Kerinduan untuk dikuasai dan kerinduan untuk ditipu kini menjadi gejala global. Namun hal itu bisa dicegah dengan kesadaran sederhana, bahwa kebebasan jauh lebih berharga daripada janji-janji surga dan kebutuhan palsu.

Berawal dari praktik makelar politik, menjalar ke oligarkisme, korupsi dan radikalisasi agama di kalangan mereka yang memilih jalan oposisi. Saat ini, praktik demokrasi kita masih terlampau formal dan prosedural.