Populisme
Institusi Demokrasi Dituntut Lebih Aspiratif
Populisme diyakini lahir dari demokrasi yang cacat. Karena itu munculnya populisme semestinya direspons sebagai sebuah tuntutan bagi institusi demokrasi, baik eksekutif dan legislatif, untuk lebih aspiratif.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F10%2F20191022_ENGLISH-TAJUK-1_A_web_1571754472.jpg)
Para mahasiswa memadati Jalan Gatot Subroto saat berunjuk rasa di depan Gedung DPR Senayan, Jakarta, Selasa (24/9/2019). Mereka menuntut dibatalkannya Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang baru saja direvisi dan menolak Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
JAKARTA, KOMPAS — Banyak kalangan menilai populisme adalah antitesis dari demokrasi. Sebab, populisme cenderung mengabaikan institusi-institusi mapan yang ada dalam demokrasi, seperti lembaga legislatif dan eksekutif. Untuk merespons populisme yang lahir dari demokrasi yang cacat, institusi-institusi demokrasi dituntut lebih terbuka dan aspiratif pada kepentingan publik.
Simpulan itu mengemuka dari kuliah umum yang disampaikan oleh Direktur dan Profesor dari Asian Studies di Asia Institute dan Deputi Asisten Vice-Chancellor International Universitas Melbourne, Australia, Vedi R Hadiz, yang disiarkan secara daring, Senin (1/11/2021). Kegiatan bertajuk ”Demokrasi dan Populisme dalam Perspektif Komparatif” itu difasilitasi oleh komunitas kajian Public Virtue.