Meski dianggap sebagai terobosan positif, kebijakan upah minimum yang tertuang dalam Permenaker No 18/2022 dinilai belum membantu daya beli pekerja secara signifikan di tengah potensi pelambatan ekonomi pada 2023.

Pemerintah masih berpatok pada Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan sebagai acuan kebijakan upah minimum 2023. Namun, di tengah pro dan kontra yang berkembang, ruang dialog lebih luas akan dibuka.

Penetapan UMP selalu menjadi ”ladang pertarungan” setiap tahun. Kenaikan BBM dan harga kebutuhan pokok yang kini terjadi akan makin meruncingkan sentimen ini.

Tanpa perbaikan kondisi upah, kenaikan harga BBM dan kebutuhan pokok lainnya bisa semakin menggerus daya beli pekerja. Kebijakan upah minimum tahun 2023 perlu disesuaikan agar bisa mengejar inflasi.

Survei kebutuhan hidup layak (KHL) sudah dihapus dari formula upah minimum terbaru. Namun, di tengah tren kenaikan inflasi, buruh dan pengusaha berencana mengadakan survei pasar untuk menakar kebutuhan riil pekerja.

Jika penetapan upah minimum tetap mengacu pada formula yang berlaku dalam PP No 36/2021, daya beli pekerja bakal terus tergerus.

Ruang negosiasi penetapan upah minimum 2022 di daerah-daerah perlu dibuka agar ada jalan tengah terkait kebijakan pengupahan tahun depan. Kenaikan upah yang mayoritas hanya di kisaran 1 persen dinilai terlalu rendah.

Upah minimum 2022 akan resmi mengikuti sistem baru di Undang-Undang Cipta Kerja. Rata-rata kenaikan upah yang tipis di kisaran 1 persen itu dikhawatirkan akan semakin menekan daya beli pekerja di tengah pandemi Covid-19.