Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 145)
Di lembah itu Dewi Citrawati terserap dalam rasa damai. Lembah kedamaian itu tak mungkin bisa membawanya ke dalam bayangan, bahwa Sumantri telah mati. Ia tersenyum bahagia, mengenang cinta dan hal indah bersama Sumantri.
Fajar telah menyingsing, saat Patih Suroto hampir tiba di tempat Prabu Arjunasasrabahu bertapa. Suasana masih senyap, walau malam telah lenyap. Matahari sudah mengintai, membuka datangnya pagi yang permai. Lembah, tempat Dewi Citrawati dan putri-putri Maespati berada, terasa damai. Semadi Prabu Arjunasasrabahu memancarkan daya cipta Batara Wisnu, membuat lembah itu tertahan dari riuh rendah kekejaman perang. Peperangan terjadi di sekitar lembah itu. Tapi daya damai Batara Wisnu telah menjadi selimut dan perisai alam, yang melindungi lembah itu terjauh dari hiruk pikuk kekejaman perang. Memang karena daya damai itu, peperangan seakan terjadi jauh di sana, sehingga tak sedikit pun terasa dan terdengar pengaruhnya di lembah tempat Dewi Citrawati dan putri-putri Maespati melewatkan hari-hari gembiranya.
Pagi pun tiba. Lembah itu kelihatan sangat indah. Berada di sana, Dewi Citrawati dan para putri Maespati tak sedikit pun merasa, tak jauh dari mereka sebenarnya sedang terjadi peperangan dahsyat yang telah demikian banyak merenggut nyawa. Di selatan, ke arah samudra, tampak Prabu Arjunasasrabahu bertapa dalam tidur nyenyaknya. Tak tampak ia sebagai raksasa dahsyat yang sedang melintang, menahan bengawan Gangga menjadi telaga. Dari kejauhan ia tampak bagaikan gunung yang menghijau lereng-lerengnya. Lembah yang berada di sela-sela kakinya juga sedang sejuk merimbun dengan pelbagai pohon-pohonnya. Embun bertetesan di helai-helai bunga pandan dan campaka, menebarkan wangi di pagi yang cerah. Bunga-bunga asoka mekar, berdampingan dengan bunga-bunga katirah. Burung-burung berkicau, menjadikan pagi makin meriah.