logo Kompas.id
OpiniRetrogresi Aktivisme Yudisial ...
Iklan

Retrogresi Aktivisme Yudisial di Mahkamah Konstitusi

Di awal berdirinya, Mahkamah Konstitusi menjadi institusi yang inklusif dengan membuka ”legal standing” yang cukup lebar bagi warga negara. Namun, MK kini lebih memilih menahan diri, tidak melakukan terobosan hukum.

Oleh
IDUL RISHAN
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/iYFV_x4RsGq1Uw6kXbGshI0UaFE=/1024x576/https%3A%2F%2Finr-production-content-bucket.s3.ap-southeast-1.amazonaws.com%2FINR_PRODUCTION%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F07%2F24%2F76e50239-84f1-40f4-9155-14c1cd2e2549_jpg.jpg

Jika membaca tren putusan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi dalam kurun tiga tahun terakhir, hakim konstitusi cenderung membatasi diri untuk tidak membangun penafsiran secara konfrontatif dengan pembentuk undang-undang (Presiden-DPR). Dalam perkara-perkara populis yang melibatkan kepentingan masyarakat luas, MK lebih memilih menahan diri (self-restraint) untuk tidak melakukan penerobosan hukum atau yang dikenal dengan istilah aktivisme yudisial (judicial-activism).

Paling anyar putusan MK terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), yang untuk kesekian kali kembali ditolak MK. Melemahnya aktivisme yudisial MK kerap terekam dalam dua pola. Pertama, mempersempit ruang legal standing dalam praktik pengujian UU. Kedua, membatasi diri untuk tidak mengadili perkara yang merupakan kebijakan terbuka pembentuk UU (open legal policy).

Editor:
YOVITA ARIKA
Bagikan