Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 150)
Setelah melepaskan Rahwana, dan Maespati menjadi sepi, Prabu Arjunasasrabahu selalu berpikir, satu-satunya yang harus ia jalankan adalah mencari jalan menuju mati. Pasti jalan itu bukan jalan bunuh diri atau perang lagi.
Prabu Arjunasasrabahu pun tahu bahwa rakyatnya mencela belas kasihnya. Ia menerimanya. Betapapun ia menerangkan alasannya mengapa ia berbelas kasih pada Rahwana, tak akan rakyat Maespati mau menerimanya. Maka makin sadarlah ia, belas kasih ternyata menyudutkannya ke dalam sepi. Kesepiannya membuat kekuasaannya tak lagi memancar. Dan Maespati yang dulu semarak dan megah kini menjadi negara yang sepi pula. Rasanya Maespati bagaikan negara yang dicekam kematian.
Sementara mendung kematian menjadi langit Maespati, mendekatlah ke sana seorang resi yang rindu untuk mati. Resi itu adalah Ramabargawa, putra Resi Jamadagni. Ibunya, Dewi Renuka, melakukan perbuatan yang melanggar kesetiaan, walau ia sudah berputra lima. Ia ketahuan berbuat serong dengan seorang raja satria, Prabu Citrarata. Perbuatan Dewi Renuka akhirnya ketahuan oleh ayahnya, Resi Jamadagni. Pendeta ini marah, dan tidak bisa menerima kelakuan istrinya. Dan meskipun ia seorang pendeta, ia tidak bisa mengampuni istrinya. Ia mengumpulkan putra-putranya, dan meminta mereka untuk mengucapkan sumpah demi kejujuran. Kelima putranya sanggup, demi tegaknya kejujuran untuk melakukan apa saja. Ternyata setelah diberi tahu, demi sumpah kejujuran itu mereka harus mau membunuh ibunya yang tidak jujur, satu per satu mundur dan mengingkari sumpahnya. Satu-satunya yang sanggup adalah Ramabargawa. Baginya, kejujuran harus berdiri di atas segala-galanya, juga di atas cinta akan ibunya.