Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 143)
Rahwana terkesiap. Berapa pun dan anak panah apa pun yang tadi dilepaskan Sumantri, ia tidak takut. Panah-panah itu menebas kepala-kepalanya, tapi tak membuatnya mati, karena aji Pancasona yang menghidupkannya kembali.
Sumantri melepas panah Candrasa. Dengan kedahsyatan bulan, panah itu menebas sebuah kepala Rahwana. Rahwana roboh dengan sembilan kepalanya. Dan begitu ia mencium tanah, ia pun segera bangkit karena aji Pancasona yang dimilikinya. Dengan aji Pancasona itu, Rahwana tak bakal bisa mati, walau kepalanya ditebas berkali-kali. Sumantri segera melepas senjata Nagapawaka, dan seekor naga berapi melesat lalu memagut kepala Rahwana. Sebuah kepala tertebas, dan raksasa itu terguling di tanah. Namun ia segera bangun kembali dengan delapan kepala. Demikian pula yang terjadi, ketika Sumantri susul menyusul melepas senjatanya, kunta Sarutama dan panah Sangkukala, yang menebas kepala Rahwana. Sumantri sempat kewalahan, maka dilepaskannya panah Pancawela, dan tertebaslah lima kepala Rahwana sekaligus. Kepala-kepala Rahwana bergelindingan di tanah. Meski dari badannya sudah terpisah, kepala-kepala itu meringis kejam hendak melampiaskan amarah.
Itukah sesungguhnya daya maut? Tak mungkinkah daya maut itu ditaklukkan? Sumantri bertanya, sambil memandang Rahwana yang tinggal satu kepalanya. Rahwana menggeram mendekati Sumantri. Sumantri mundur beberapa langkah, dan merasa, maut sudah benar-benar di hadapan matanya. Akankah maut menerkam dengan kekejamannya, atau apakah maut akan memeluknya dengan cinta? Ia tidak bisa bertanya pada maut dan membiarkan maut sendiri yang memilihnya. Harus dia sendiri yang memutuskan, apakah maut itu kekejaman atau apakah maut itu cinta.