logo Kompas.id
β€Ί
Sastraβ€ΊAnak Bajang Mengayun Bulan...
Iklan

Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 132)

Bulan seakan tahu akan keinginan mereka. Bulan yang tadinya seperti sebilah gading remang-remang kini menjadi bundar dan bersinar terang benderang.

Oleh
Sindhunata
Β· 2 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/jbSz-MnNpoJpWucNERd9JVd-fMU=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F01%2F26%2F1e96ac6a-f70c-4f23-8ceb-1dfb08bdf2c6_jpg.jpg

Sumantri lalu mengelus halus rambut Dewi Citrawati. Sekujur badannya menjadi panas, ketika tangannya meraba-raba dada Putri Magada itu. Dan Dewi Citrawati merintih-rintih, merasakan berahi yang berkecamuk di tubuhnya. Panasnya berahi mereka mengalahkan malam yang dingin. Bulan yang tinggal separuh tak memberi kehangatan. Namun berahi yang tersembunyi sekarang memancar bahkan lebih panas daripada panas matahari di waktu siang. Berjatuhan kembang-kembang kemuning, ketika mereka berguling-guling. Terserang berahi yang dahsyat, sejenak di benak Sumantri terlintas pertanyaan, jangan-jangan dengan berahi macam ini ia dilahirkan. Pikirannya melayang ke kisah yang pernah diceritakan ayahnya di Jatisrana. Ayahnya, Begawan Swandagni mengakui, waktu itu ia benar-benar dirangsang oleh berahi akan ibunya, Dewi Sokawati, ketika mereka berdua di pelataran pertapaan Jatisrana, telanjang di bawah sinar bulan purnama. Mereka melakukan perbuatan asmara yang sangat indah. Kelak ayahnya mengingkari nafsu berahinya, dan menganggap karena berahi nafsu ibunya, maka lahirlah Sukrosono, adiknya, raksasa yang buruk rupa itu. Sedangkan ayahnya merasa bercinta dengan cinta yang suci, hingga lahirlah dia, Sumantri, manusia yang sempurna ini. Sukrosono dibuang karena anggapan ayahnya tentang kesucian itu. Sekarang, ia yang katanya adalah buah dari cinta yang suci, merasakan sendiri berahi itu, ketika ia berguling-guling dalam perbuatan asmara bersama Dewi Citrawati. Ia seperti mengulang perbuatan ayahnya di pelataran Jatisrana. Adakah perbuatannya ini adalah kutukan dari cinta yang suci tanpa berahi itu? Kalau demikian, bukan adiknya, Sukrosono, tapi dia sendirilah yang terkena oleh kutukan itu. Hanya sejenak pikiran ini datang mengganggunya. Sebentar kemudian, ia sudah larut dalam ketelanjangan berahinya, ketika ia boleh menikmati tubuh Dewi Citrawati. Sekarang ia mengalami sendiri, tak benarlah kata-kata ayahnya bahwa nafsu berahi itu tidaklah suci. Andaikan benar pun, ia tidak ingin terlepas dari kenikmatan bersama Dewi Citrawati itu. Ia tidak peduli lagi juga seandainya ia terkutuk oleh berahi. Apalagi ketika ia mendengar nikmat rintihan Dewi Citrawati.

Ikuti Cerita Bersambung di Rubrik Sastra:

Editor:
MARCELLUS HERNOWO
Bagikan