Soal Presiden Bisa Kampanye, Moeldoko: Negara Hukum Harus Berpatokan pada Hukum
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menanggapi isu presiden boleh kampanye. Menurut dia, harus berpatokan pada hukum.
JAKARTA, KOMPAS — Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko memberi tanggapan terkait soal isu presiden boleh berkampanye. Sebagai negara hukum, Moeldoko berpandangan bahwa hukumlah yang mesti menjadi patokan dan bukan hal lain seperti perasaan atau asumsi.
”Sebagai presiden disumpah, berkewajiban menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Dalam konteks seadil-adilnya dan sebaik-baiknya itu, presiden sebagai pejabat publik, beliau, seorang presiden, harus memberikan pelayanan yang seadil-adilnya, tidak melihat siapa pun dia, dari partai mana pun dia,” kata Moeldoko, Jumat (26/1/2024).
Baca juga: Jokowi: Presiden Boleh Kampanye dan Memihak asal Tak Gunakan Fasilitas Negara
Memiliki jabatan politik
Tanggapan Moeldoko itu disampaikan dalam video yang dibagikan dalam grup percakapan KSP Media Relation. Video itu dibagikan dengan dilengkapi keterangan bahwa Moeldoko menyampaikan keterangan itu di Malang, Jawa Timur, Jumat (26/1/2024). Menurut rencana, pada Sabtu (27/1/2024) esok, Moeldoko akan menghadiri dan menyampaikan orasi kebangsaan dalam Rakernas dan Halaqoh Ikatan Alumni Ponpes Tebuireng di Trawas, Mojokerto.
Selain sebagai pejabat publik, Moeldoko mengatakan, presiden juga sebagai figur yang memiliki jabatan politik. ”Tentu, hak-hak politiknya juga melekat. Nah, itu diatur dalam Undang-Undang Pemilu. Sangat jelas disebutkan di sana, (bahwa) presiden, wapres, para menteri, dan seluruh pejabat publik bisa memiliki hak untuk melakukan kampanye. Nah, secara undang-undang seperti itu,” katanya.
Lebih lanjut Moeldoko mengatakan hukum harus menjadi patokan bagi negara hukum. ”Kita ini, kan, negara hukum. Negara demokrasi pancerannya (rujukannya), ya, hukum. Jadi, jangan ke mana-mana. Orientasinya, standarnya (adalah) hukum. Jangan diukur standar perasaan, enggak ketemu. ’Oh, rasanya enggak cocok dan seterusnya’. Ya, jangan rasanya. Kita ini negara hukum, pancerannya, patokannya, ya, hukum,” ujarnya.
Menurut Moeldoko UU Pemilu sudah memberikan kejelasan. ”Di dalam hukum, clear, tadi sudah disebutkan. Dalam UU Pemilu sangat clear. Yang penting sepanjang, satu, tidak boleh menggunakan fasilitas negara, kecuali pengamanan masih ada. Tapi juga di situ disebutkan tetap menjalankan kewajiban sebagai pejabat publik dengan penuh rasa tanggung jawab sebaik-baiknya,” katanya.
Negara hukum, negara demokrasi panceran-nya, ya, hukum. Jadi, jangan ke mana-mana. Orientasinya, standarnya hukum. Jangan diukur standar perasaan, enggak ketemu.
Baca juga: Presiden Ikut Kampanye, secara Etika Politik Menjadi Masalah
Untuk itu, Moeldoko melanjutkan, walaupun menteri yang berkaitan menjalankan kampanye dalam kondisi cuti, yang bersangkutan setelah itu tetap menjalankan tugas sebagai pejabat yang diamanatkan dengan sebaik-baiknya.
”Jadi, mari kita lihat konteks Presiden kemarin menyampaikan adalah dalam konteks lebih memberikan pembelajaran berdemokrasi. Ikuti undang-undangnya. Undang-undangnya clear seperti itu. Jangan keluar dari undang-undang. Itu, sih, intinya,” kata Moeldoko.
Moeldoko kembali menuturkan, konteks yang disampaikan Presiden Jokowi itu bukan lalu serta-merta Presiden akan menyiapkan dirinya untuk kampanye. ”Bukan itu. Tapi ini sebuah kondisi yang menjawab situasi yang berkembang. Ini dipahami seperti itu konteksnya. Jadi sekaligus juga memberikan pemahaman bagi kita semua bahwa jangan enggak boleh ini, enggak boleh ini, enggak boleh ini. Lho, kan, undang-undang yang kita pegang. Untuk apa undang-undang itu? Standar perangkat kita dari undang-undang, jangan dari perasaan, jangan dari asumsi, jangan dari macam-macam,” ujarnya.
Seperti diketahui, pernyataan Presiden Jokowi bahwa presiden dan menteri boleh berpihak sepanjang tidak menggunakan fasilitas negara mendapat respons dari berbagai kalangan. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) melalui direkturnya, Khoirunnisa Agustyati, dan manajer program Fadli Ramadhanil dalam rilisnya menyebut pernyataan Presiden tersebut sangat dangkal.
Baca juga: Presiden Membolehkan Kampanye, Wapres Tegaskan Tidak Memihak
Netralitas, kunci pemilu
Menurut Perludem, pernyataan tersebut juga berpotensi akan menjadi pembenar bagi Presiden sendiri, menteri, dan seluruh pejabat di bawahnya untuk aktif berkampanye dan menunjukkan keberpihakan di dalam Pemilu 2024. Padahal, netralitas aparatur negara adalah salah satu kunci mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang jujur, fair, dan demokratis.
Baca juga: Pengamat: Kampanye, Presiden Dilarang Bagikan Bansos
Perludem berpandangan, pernyataan Presiden Jokowi hanya merujuk ketentuan Pasal 281 Ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 yang berbunyi: ”Kampanye pemilu yang mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota harus memenuhi ketentuan (a) tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara. Dan, (b) menjalani cuti di luar tanggungan negara”.
Padahal, dalam Pasal 282 UU No 7/2017 terdapat aturan bahwa pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye. Pasal 283 Ayat (1) UU No 7/2017 juga melarang pejabat negara serta aparatur sipil negara melakukan kegiatan yang mengarah pada keberpihakan kepada peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah kampanye.