Gelontoran Bansos di Tahun Pemilu
Di tengah masa kampanye peserta pemilu, dengan Gibran, anak Presiden, ikut berkontestasi, pemerintah terus menyalurkan bansos. Anggaran bansos 2024 mencapai Rp 496,8 triliun, melampaui anggaran bansos pada masa pandemi.
Tahun 2023 hingga 2024, saat banyak kalangan menyiapkan Pemilu 2024 dan para kandidat pemilihan legislatif ataupun pemilihan presiden mulai berkampanye di pengujung 2023, pemerintah juga sibuk menyalurkan bantuan sosial.
Alokasi anggaran perlindungan sosial untuk 2024 bahkan tidak main-main, mencapai Rp 496,8 triliun. Besaran anggaran itu lebih tinggi daripada anggaran perlindungan sosial yang dialokasikan untuk 2021 hingga 2022 saat pembatasan sosial diterapkan untuk mengendalikan pandemi Covid-19.
Di pengujung 2023, pemerintah terus menyalurkan bantuan langsung tunai El Nino atau BLT El Nino kepada para penerima manfaat. Bantuan langsung tunai itu disalurkan untuk meningkatkan daya beli rakyat karena kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok.
Bantuan itu antara lain diserahkan Presiden Joko Widodo kepada sejumlah penerima manfaat di Kantor Pos Genteng, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Rabu (27/12/2023). ”BLT El Nino ini digunakan karena ada kenaikan (harga) barang, (harga) beras yang naik dikit. Ini dipakai untuk nutup itu,” kata Presiden Jokowi.
Janji Presiden terkait sejumlah bantuan sosial itu cukup tergambarkan pada anggaran perlindungan sosial 2024 sebesar Rp 496,8 triliun yang telah diumumkan alokasinya oleh pemerintah sejak akhir November 2023.
Baca juga: Bansos Jelang Pemilu
Saat menyampaikan keterangan kepada awak media seusai mengunjungi Pasar Rogojampi, Banyuwangi, Presiden Jokowi menambahkan, BLT merupakan upaya pemerintah meningkatkan daya beli rakyat, terutama yang terdampak El Nino. Akibat Super El Nino, produktivitas petani menurun, banyak gagal panen. Karena itu, BLT El Nino senilai Rp 400.000 yang diberikan per dua bulan dinilai mampu menaikkan daya beli masyarakat.
Selain BLT El Nino, Presiden Jokowi mengatakan, pemerintah juga menyalurkan bantuan pangan cadangan beras pemerintah sebanyak 10 kilogram per kepala yang telah dimulai sejak September 2023. ”Nanti Januari, Februari, Maret (2024) (bantuan pangan cadangan beras pemerintah) yang 10 kilogram dilanjutkan lagi,” kata mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.
Janji Presiden terkait sejumlah bantuan sosial itu cukup tergambarkan pada anggaran perlindungan sosial 2024 sebesar Rp 496,8 triliun yang telah diumumkan alokasinya oleh pemerintah sejak akhir November 2023. Alokasi anggaran itu disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam penyerahan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) dan dana transfer ke daerah di Istana Negara, Jakarta, pada akhir November 2023.
Alokasi anggaran 2024 itu lebih tinggi dibandingkan 2023 yang sebesar Rp 433 triliun. Bahkan jika dibandingkan pada masa pandemi Covid-19 saat pemerintah memberlakukan pembatasan sosial pun, alokasi anggaran perlindungan sosial 2024 tetap paling tinggi. Pada 2021 anggaran perlindungan sosial terbatas Rp 468,2 triliun, dan pada 2022 turun menjadi Rp 460,6 triliun.
Alokasi anggaran perlindungan sosial 2024 hanya lebih rendah Rp 1,2 triliun dibandingkan alokasi untuk tahun 2020 saat pandemi Covid-19 mulai melanda. Adapun pada 2020 itu anggaran perlindungan sosial yang dialokasikan mencapai Rp 498 triliun.
Tanpa adanya urgensi seperti pada masa pandemi, dengan sebagian masyarakat kehilangan pekerjaan akibat pembatasan sosial, rasanya penyaluran bantuan pada 2024 ini cukup jorjoran. Apalagi, penyaluran bantuan itu dilakukan di tengah masa kampanye para peserta Pemilu 2024, baik peserta pemilihan legislatif maupun peserta pemilihan presiden.
Di antara peserta pemilu itu, anak sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang hingga kini masih aktif sebagai Wali Kota Surakarta, Jawa Tengah, ikut berkontestasi sebagai calon wakil presiden. Gibran mendamping calon presiden Prabowo Subianto yang sampai saat ini juga masih aktif sebagai Menteri Pertahanan.
Baca juga: Hati-hati Politisasi Bansos Menjelang Pemilu 2024
Politisasi bansos
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayoga pun melihat ada kecenderungan politisasi bansos setiap menjelang pemilu ataupun pemilihan kepala daerah (pilkada). ”Anggaran bansos di tahun pemilu selalu meningkat, meskipun beberapa tahun belakangan ini ada anomali karena (pandemi) Covid-19. (Namun) kalau melihat kondisi Covid-19 yang membaik, kenyataannya tahun (2024) ini (anggaran) bansos meningkat,” tuturnya, Kamis (4/1/2024).
Masalahnya, menurut Egi, tak mudah menindak politisasi dalam penyaluran bansos. Pasal 280 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juga hanya menyebutkan beberapa larangan dalam kampanye, seperti larangan memberikan uang atau materi kepada peserta kampanye serta larangan menggunakan fasilitas pemerintah, termasuk tempat ibadah dan tempat pendidikan. Kendati politik uang termasuk pidana pemilu, tidak demikian halnya pada pemanfaatan fasilitas pemerintah.
Mengharapkan Bawaslu mengawasi penyaluran bansos, menurut Egi, tak ubahnya mencencang air. Karena itu, Egi menilai perlu kesadaran masyarakat untuk mengawasi secara cermat penyaluran bansos, apakah untuk menggaet suara pemilih, terafiliasi dengan kelompok tertentu, memiliki kepentingan tertentu.
”Apalagi kalau ada pesan untuk memilih nomor sekian, tentu itu terindikasi sebagai kecurangan dan Bawaslu semestinya bisa mengambil peran,” tambahnya.
Uang rakyat
Calon presiden (capres) nomor urut 1, Anies Baswedan, menilai bansos tidak boleh diklaim sebagai bantuan atas nama pribadi. Sebab, bansos dibeli dengan uang pajak dan uang pajak didapat dari rakyat.
Dia juga memberikan sebuah contoh. Ada beberapa orang yang menitipkan uang kepada seorang individu. Jika individu tersebut membagikan uang tersebut atas nama dirinya, hal itu tidaklah etis.
”Jadi, tidak etis. Tidak etis dan itu salah, karena itulah kita harus luruskan. Bansos itu adalah uang negara, dari pajak rakyat. Bukan dari satu orang, dan itu adalah untuk menghidupi saudara-saudara kita yang belum mampu,” ujar Anies.
Capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo, pun sependapat. Bansos tidak boleh dijadikan sebagai komoditas politik. Sebab, bansos sudah menjadi program pemerintah. ”Jangan dipolitisasi, jangan diklaim, karena (bansos) itu hak rakyat,” tegasnya.
Bansos tidak boleh diklaim sebagai bantuan atas nama pribadi. Sebab, bansos dibeli dengan uang pajak dan uang pajak didapat dari rakyat.
Menurut Ganjar, dalam suasana politik saat ini, mudah bagi pihak tertentu untuk mengklaim bahwa bansos merupakan jasa dari mereka, bukan dari pemerintah. Padahal, bansos diusulkan pemerintah, dan harus mendapat persetujuan dari DPR. Hal itu biasanya dilakukan untuk merespons kondisi tertentu dan kebutuhan di masyarakat.
”Kalau sekarang ada usulan bansos tambahan karena kondisi di masyarakat, ya memang membutuhkan respons pemerintah. Tetapi, biasanya dalam suasana politik, tahun politik seperti ini, saling klaim itu menjadi paling kuat,” ucap Ganjar.
Tak hanya itu, lanjutnya, penyaluran bansos juga dapat digunakan untuk menyerang lawan politik, bahkan dengan tudingan seolah-olah tidak berpihak kepada rakyat karena meminta penyaluran bansos ditunda. ”Makanya bansos jangan dijadikan komoditas politik. Sempat ada yang menyampaikan, ’Jangan pilih Ganjar, nanti dia akan menghentikan bansos.’ Yang menyampaikan statement seperti itu rasa-rasanya tidak mengerti aturan,” ujar Ganjar.
Sementara itu, Wakil Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Saleh Partaonan Daulay, tidak sepakat jika ada anggapan pemerintah tengah memolitisasi bansos demi menguntungkan pasangan capres-cawapres tertentu.
Ia justru merasa aneh jika ada pihak yang ingin menghentikan sementara bansos dan jaring pengaman sosial saat ini. Usulan tersebut dinilai sangat tidak bijak. ”Semua pihak menyadari bahwa bantuan tersebut sangat dibutuhkan masyarakat. Membantu masyarakat di tengah kesulitan ekonomi pun sangat dijamin oleh konstitusi. Bukankah konstitusi menyebut bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan?” ujar Saleh.
Saleh justru mengusulkan agar bansos diperbanyak jumlahnya dan diperluas penerimanya. Dengan memperbanyak bansos, menurut Saleh, semua penerima akan mendapatkan hak yang sama. ”Kalau diperbanyak, itu baru tepat,” ucapnya.
Baca juga: Jalan Pintas Menghapus Kemiskinan Ekstrem
Tak cukup bansos
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses) Suroto, Kamis (4/1/2023), menyampaikan, bansos yang disalurkan secara gebyah-uyah tak efektif. Bantuan sosial seharusnya hanya mencakup warga yang berada di luar kategori miskin aktif (active poor). ”Artinya, mereka yang tidak mempunyai kemampuan sama sekali, misalnya yang berada dalam (kondisi terkena) bencana,” katanya.
Adapun warga miskin aktif atau mereka yang miskin, tetapi tetap berusaha melalui usaha mikro, menurut Suroto, sebaiknya diberikan akses kredit.
Dalam konteks pemilu, Suroto menuturkan, hal yang biasa dikejar elite politik adalah popularitas. ”Dan (dengan) bahasa gimik-gimik, mereka memberikan stimulasi program yang namanya bansos-bansos sebanyak-banyaknya karena rakyat kita yang sudah miskin ini untuk melihat program pemerintah itu yang langsung bisa ditangkap instan, ya, (bansos) itu,” katanya.
Padahal, lanjutnya, kemiskinan di Indonesia bersifat struktural dan tidak cukup diselesaikan hanya dengan kebijakan programatik dan karitatif seperti yang biasa dilakukan selama ini, semisal lewat bansos. Sebaliknya, program reformasi struktural yang diperlukan.
Namun, perubahan struktural itu belum muncul secara tegas dari para kontestan Pemilu 2024. ”Saya lihat di kelompok Amin (Anies-Muhaimin) baru ngomong soal pajak harta, itu baru wacana. Di Ganjar Pranowo kepemilikan sumber daya alam melalui BUMDes, itu juga belum tegas,” katanya.
Program makan siang gratis yang ditawarkan Prabowo-Gibran pun dinilai Suroto tidak cukup untuk menyelesaikan problem kemiskinan struktural di Indonesia.
Suroto berpandangan ada kekeliruan mendasar dalam memaknai konstitusi ketika semua seolah ”di-bansos-kan”. ”Bansos-bansos yang sekarang sudah begitu banyak itu kumpulkan dan jadikan satu dalam universal basic income atau pendapatan minimum warga negara. Semua warga negara, termasuk presiden, berhak menerima (universal basic income) itu, tapi bisa dikompensasi melalui pajak apabila warga tersebut merasa berkecukupan sehingga tidak mau menerimanya,” tuturnya.
Suroto berpandangan, perubahan struktural seperti melalui universal basic income ini dapat menghilangkan ketidaktepatan sasaran, ketidaktepatan program, dan mencegah kemungkinan dipolitisasi di tahun-tahun politik.
Tidak berhenti
Menanggapi tudingan politisasi bansos, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko membantahnya. ”Program untuk memberikan bantuan beras kepada masyarakat miskin itu sebelum, jauh sebelum Mas Gibran menjadi calon wakil presiden. Presiden melihat harga beras ini dalam kondisi tinggi, stabil tinggi, untuk itu perlu ada bantuan kepada masyarakat miskin,” ujarnya kepada wartawan di Gedung Bina Graha, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (3/1/2024).
Presiden Jokowi, menurut Moeldoko, memandang ini sangat memengaruhi inflasi, sebab masyarakat bisa mengurangi pengeluaran untuk membeli bahan pangan pokok. ”Jadi enggak ada tendensi apa pun. Ini memang program jaminan sosial yang sudah lama digagas pemerintah,” tambahnya.
Program ini pun berlanjut per tiga bulan. Setelah memasuki tiga bulan kedua, akan dilanjutkan tiga bulan yang ketiga. Moeldoko memastikan bansos termasuk program bantuan pangan ini tidak akan berhenti. ”Kalau (dianggap) ada hubungannya dengan pemilu, mungkin sesudah Februari berhenti. Buktinya berjalan terus,” ujarnya.
Koordinator Staf Khusus Presiden Anak Agung Gde Ngurah Ari Dwipayana pun menambahkan target bansos sangat jelas dan pemerintah terus memperbaiki kualitas implementasi. Selain itu, penyaluran bansos melibatkan berbagai level pemerintahan, dari pusat sampai daerah, bahkan pemerintah desa. ”Pemerintah juga mendorong konvergensi program agar berbagai pihak, termasuk kalangan nonpemerintah, terlibat dalam program penanggulangan kemiskinan,” tutur Ari.