logo Kompas.id
β€Ί
Politik & Hukumβ€ΊBahaya Pembungkaman dan...
Iklan

Bahaya Pembungkaman dan Penghasutan

Peristiwa Tanjung Priok 1984 menyisakan pelajaran penting dalam hidup bernegara. Sikap pemerintah yang otoriter dan membungkam kebebasan berpendapat memicu kemarahan warga yang diperparah oleh penghasutan.

Oleh
Dian Dewi Purnamasari
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/OidtzQeGDQdp3GNUwFRUsOsmeXo=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F09%2FBW-00019551-23-IDN023-BAMBANG-SUKARTIONO_1631200264.jpg
KOMPAS/ BAMBANG SUKARTIONO

Suasana penjagaan di Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada hari Kamis, 13 September 1984, pascaterjadi kerusuhan yang disertai aksi bakar-membakar pada Rabu malam, 12 September. Sejumlah orang dilaporkan tewas dalam peristiwa ini.

Peristiwa kelam penembakan dan penghilangan paksa Tanjung Priok 1984, telah 37 tahun berlalu. Meski sebagian pelaku pelanggaran HAM berat itu sudah diadili, kekecewaan korban dan keluarganya masih tersisa karena peradilan dianggap penuh rekayasa. Terlebih, peristiwa itu disebabkan sikap pemerintah yang tak mendengarkan warga. Dampaknya, tindakan aparat pun disikapi warga dengan kemarahan dan dibumbui penghasutan.

Wanma Yetti (57) harus kehilangan ayahnya saat usianya 20 tahun. Ayahnya, Bahtiar, diduga tewas saat bentrokan antara warga dan militer di Tanjung Priok, 12 September 1984 malam. Hingga kini, jasad dan pusara ayahnya tak diketahui keberadaannya.

Editor:
Madina Nusrat
Bagikan