logo Kompas.id
Politik & HukumMetode ”Omnibus Law”...
Iklan

Metode ”Omnibus Law” Mengandung Kelemahan

Di sejumlah negara, metode ”omnibus” mulai ditinggalkan. Kalaupun dijalankan, metode tersebut dibatasi dengan subyek pengaturan tunggal sehingga pengaturannya tidak terlalu luas.

Oleh
Rini Kustiasih
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/s00BFlanrUWXbt-Zjo6wqLRr6DM=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F03%2F1d90d461-a170-4410-8233-bbbff19a27fb_jpg.jpg
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO

Unjuk rasa bertajuk ”Gejayan Memanggil Lagi” di Jalan Affandi, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (9/3/2020). Unjuk rasa menolak RUU Cipta Kerja karena dinilai akan merugikan buruh.

JAKARTA, KOMPAS — Omnibus law sebagai metode penyusunan undang-undang mengandung sejumlah kelemahan, antara lain karena dinilai kurang demokratis dan partisipatif. Di sejumlah negara, metode ini mulai ditinggalkan. Kalaupun dijalankan, metode ini dibatasi dengan subyek pengaturan tunggal sehingga pengaturannya tidak terlalu luas.

Dalam seminar nasional bertajuk ”Mengkaji Omnibus Law: Atas Nama Investasi, Akankah Agraria dan Pertanahan Indonesia Tetap Sehat?” yang diadakan Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya di Jakarta, Senin (9/3/2020), pengajar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan, omnibus law memiliki sisi positif karena kecepatannya dalam mengharmonisasi regulasi.

Editor:
Antonius Ponco Anggoro
Bagikan