Partisipasi publik sekarang tinggal nama. Ia begitu diteknokratiskan—dijadikan semacam daftar periksa (”check list”) yang formal belaka.

Alat negara tidak mengambil keputusan politik. Ia hanya menjalankan apa pun yang diputuskan untuknya oleh penyelenggara negara: legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Hak-hak ekosob adalah hak dasar, bukan hadiah dari pemerintah karena rasa kasihan. Maka, solusi bagi kemiskinan bukan sekadar bansos.

Bukan karena metodologi survei, melainkan paradigma yang dibangun dalam menjalankan pemerintahan menggunakan resep untuk meraih popularitas.

Dalam demokrasi tidak boleh ada asumsi bahwa semua kritik dan pertanyaan adalah caci maki dan kebencian.

Apabila pejabat dan mantan pejabat dengan mudah dimaafkan segala kesalahannya, hukum akan kehilangan legitimasinya.

Selama masa pemilihan umum, pembodohan dan pemiskinan struktural menjadi fasilitas untuk meraih kemenangan.

DPR tengah mengebut pembahasan revisi UU Kementerian Negara. Sebaliknya, publik menolak. Mengapa demikian?