logo Kompas.id
β€Ί
Politik & Hukumβ€ΊMenakar Peluang Keserentakan...
Iklan

Menakar Peluang Keserentakan Pemilu Nasional dan Lokal Setelah Putusan MK

Setelah putusan MK, bola penentuan keserentakan pemilu ada di tangan DPR. Model keserentakan pemilu nasional dan pemilu lokal dianggap masyarakat sipil paling ideal. Bisakah hal itu diakomodasi elite Senayan?

Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/knvrOfaVBBqh0W3kpwo4rt_KqKE=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F02%2F4491f4a5-b00d-454c-9128-4d7fa5200b71_jpg.jpg
Kompas/Wawan H Prabowo

Mahkamah Konstitusi menggelar sidang putusan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU No 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang (Pilkada) di Gedung MK Jakarta, Rabu (26/2/2019).

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang juga menawarkan sejumlah model keserentakan pemilu bisa menjadi landasan mendesain keserentakan pemilu ke depan. Sejumlah pihak mengapresiasi tafsir MK tersebut karena selaras dengan kajian peneliti maupun kelompok masyarakat sipil. Publik berharap model keserentakan pemilu yang dipilih mengedepankan hak pemilik untuk memilih secara cerdas.

Melalui putusannya pada 26 Februari 2020, MK menegaskan konstitusionalitas pemilu serentak presiden, DPR, dan DPD. Terkait keserentakannya dengan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota serta DPRD provinsi/kabupaten, MK menyerahkannya kepada pembentuk undang-undang untuk memutuskannya. Hal tersebut merupakan kebijakan hukum yang terbuka (open legal policy). MK menjawab permohonan uji materi yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili direktur eksekutifnya, Titi Anggraini.

Editor:
Antony Lee
Bagikan