Pemilu, Masyarakat Adat, dan Politik Kewargaan
Dalam konteks politik kewargaan, negara wajib mengakomodasi masyarakat adat tanpa menghilangkan hak-hak mereka.
Pemilu merupakan ajang perwujudan ”kedaulatan rakyat” untuk menghadirkan perwakilan dan pemimpin yang berkualitas. Untuk itu, dalam pemilu tentu memerlukan perlengkapan nomenklatur agar bisa berjalan dengan baik. Itu tertuang di Undang-Undang Pemilu, dengan adanya penyelenggara pemilu sebagai pawang pesta demokrasi.
Tesis kunci pemilu terkristal dalam konsep ”kedaulatan rakyat” dengan adanya partisipasi masyarakat yang memenuhi syarat untuk memilih. Hal ini termaktub dalam Pasal 202 Ayat (2) dan Pasal 210 Ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) yang menyebutkan bahwa pemilih yang terdaftar dan berhak menyalurkan hak suara di tempat pemungutan suara (TPS) hanya pemilih yang memiliki kartu tanda penduduk (KTP) elektronik. Begitu juga dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XVII/2019 yang menyebutkan bahwa warga yang tidak memiliki KTP elektronik bisa menggunakan surat keterangan yang dikeluarkan oleh dinas kependudukan dan pencatatan sipil.