logo Kompas.id
β€Ί
Opiniβ€ΊParadoks Asesmen Nasional
Iklan

Paradoks Asesmen Nasional

Asesmen Nasional berpotensi semakin mengerdilkan makna belajar, gagal mengembangkan keunikan dan kecerdasan individu, bahkan menjadikan individu sebagai instrumen keberhasilan guru, sekolah, kepala daerah.

Oleh
DONI KOESOEMA A
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/Tj0lkP-YIkfwUmb3FOVdpqtsbnk=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F12%2F20191212-dne-komisi-x_1576160038.jpg
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR

Suasana rapat kerja jajaran pejabat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (baris kiri) dengan para anggota Komisi X DPRI RI di Jakarta, Kamis (12/12/2019). Mereka membahas pergantian Ujian Nasional menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survey Karakter per tahun 2021.

Ketidakadilan, standardisasi manusia, reduksi proses pendidikan. Inilah tiga residu yang masih tersisa akibat kebijakan ujian nasional. Apakah asesmen nasional mampu menjawab tiga persoalan ini?

Ujian nasional (UN) tidak adil karena disparitas kualitas guru dan sarana prasarana antardaerah dan sekolah yang belum merata. Ketimpangan kualitas guru dan sarana belajar membedakan pengalaman belajar tiap siswa dalam mempelajari kurikulum nasional.

Editor:
yohaneskrisnawan
Bagikan