Jelajah Sambal Nusantara, Pedas Sedap Menggoda dari Aceh sampai Papua
”Kompas” mengajak pembaca mencicipi kelezatan 90-an sambal selama Oktober ini. Semua sambal dari Aceh-Papua semua enak.
Pengantar:
Sambal tak terpisahkan dari kuliner Nusantara. Setiap sambal di setiap daerah dari Aceh sampai Papua memiliki kekhasan tersendiri dan semuanya enak. Dengan ”Jelajah Sambal Nusantara”, Kompas mengajak pembaca mencicipi kelezatan 90-an sambal Nusantara sepanjang bulan ini. Artikel tentang sambal akan dibebasakseskan selama jam makan siang.
Di Indonesia, apa pun santapannya, selalu ada sambal yang menemani. Walaupun berstatus kondimen, tanpa sambal, sajian hidangan tak lengkap. Tidak berlebihan jika banyak orang merasa belum makan puas tanpa merasakan sengatan pedas di mulut.
Sambal memang tak terpisahkan dari kuliner Nusantara dari ujung Aceh sampai ke Papua. Meskipun demikian, cabai yang kini banyak dikenal dan digunakan di Indonesia ternyata bukan asli tanaman Nusantara.
Merujuk dari penjelasan Fadly Rahman, sejarawan makanan dari Departemen Sejarah Universitas Padjadjaran, Bandung, serta dua peneliti dari Universitas Bina Nusantara, Reggie Surya dan Felicia Tedjakusuma, dalam pertemuan via Zoom dengan Kompas untuk persiapan Jelajah Sambal Nusantara, menjelang akhir Juni 2024 lalu, diketahui bahwa cita rasa pedas dalam masakan Nusantara dapat dikategorikan semasa sebelum dan sesudah abad ke-16.
Baca juga: Kumpulan Laporan Jelajah Sambal Nusantara Terbaru
Sebelum itu, rasa pedas di masakan Tanah Air telah dikenal luas berkat penggunaan beberapa bahan, seperti jahe, andaliman, lada, cabe jawa, dan rempah-rempah asli Indonesia lainnya. Olahan makanan kala itu berwarna kuning, bukan merah.
Capsicum sp atau cabai yang kita kenal saat ini sebelumnya telah ribuan tahun dimanfaatkan oleh masyarakat di Amerika Tengah dan Selatan. Kemudian, pada awal abad ke-16 itu, seiring gencarnya perdagangan global kuno antarbangsa lewat jalur laut, cabai masuk ke Nusantara. Sejak itu, cabai menemukan surganya yang lain untuk tumbuh, berkembang, melahirkan varian lokal, seperti katokkon di Sulawesi Selatan, dan tentu saja, digandrungi.
”Masakan Nusantara pun menemukan warna barunya, yaitu merah,” kata Fadly.
Kehadiran cabai memperkaya rasa pedas lokal. Kreasi kuliner percampuran dari pengaruh luar dan bahan asli kian menjadi di tangan masyarakat Nusantara. Aneka sambal lahir dan terus berkembang dengan menjaga kesedapan dan kenikmatan berbeda dari setiap daerah.
Baca juga: Beulacan, Sambal Kelapa Etalase Kekayaan Rempah dan Laut Aceh
Asam udeung, tuktuk, balado, lengkong tamban, jokjok, buraq, dengkek, cibiuk, tumpang, sambal pecel, matah, beberuk, lu’at, kepah, rimbang, gami, tudai, cakalang, duo sale, lawar kaci, kaluku, kenari, pepaya, dan colo-colo. Nama-nama itu baru sebagian dari deretan racikan sambal khas Nusantara dari Aceh sampai Papua.
Selain cabai, dalam pembuatan sambal di tiap daerah rata-rata menggunakan bahan lokal. Sambal di daerah pesisir, misalnya, biasa menggunakan aneka udang atau ikan kecil dari laut. Lengkong tamban, sambal khas Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, ini ada berkat melimpahnya ikan tamban di perairan setempat.
Masakan Nusantara pun menemukan warna barunya, yaitu merah.
Di daerah lain, penggunaan buah dari tanaman lokal, ikan air tawar setempat, dan bahan yang hanya ada di situ jamak ditemukan. Walakin, tak dimungkiri bahwa beberapa bahan lokal tersebut kian langka karena ancaman kerusakan lingkungan dan mereka yang gigih melestarikannya makin sedikit.
Akan tetapi, kesukaan orang Indonesia akan sambal yang tak pernah padam diharapkan sedikit banyak ikut mendongkrak upaya agar bahan-bahan sambal terus tersedia, menjaga kelestarian lingkungan, dan menjamin kekayaan gastronomi Nusantara.
Nilai ekonomi
Laporan yang terangkum dalam ”Outlook Komoditas Pertanian Subsektor Hortikultura” oleh Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian Tahun 2023 menunjukkan, konsumsi cabai terus naik, baik dalam bentuk segar atau mentah maupun setelah diolah menjadi sambal.
Dari data itu saja menunjukkan cabai dan sambal bernilai ekonomi tinggi yang melibatkan rantai produksi, mulai dari petani, pedagang, konsumen di tingkat rumah tangga, sampai produsen sambal di level usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) hingga dan perusahaan besar.
Cabai telah menjadi salah satu komoditas unggulan Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian. Produksi cabai terus naik. Pada 2023, produksi cabai mencapai 3,11 juta ton atau naik 3,12 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hingga 2027, prediksi pertumbuhan konsumsi cabai ataupun produk turunannya dari 1,21 juta ton pada 2022 menjadi 1,42 juta ton pada 2027.
Baca juga: Segarnya Asam Udeung, Sambal ”Ganja” Khas Aceh
Menurut Global Data, pada 2024 ini, konsumsi produk yang berbahan dasar cabai, yaitu berupa sambal kemasan dan bumbu pedas, senilai 4,8 miliar dollar Amerika Serikat. Pada 2019, angkanya masih 3,4 miliar dollar AS. Dari sumber yang sama, konsumsi cabai dan produk turunannya di Indonesia mencapai 8,5 kilogram per kapita pada 2024 atau naik 1,4 kg per kapita dibandingkan dengan tahun 2019.
Jadi ada berapa sambal di Indonesia?
Murdijati Gardjito, ahli kuliner Nusantara dan profesor di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, sesuai dengan hasil risetnya, menyebutkan, setidaknya ada 322 sambal di Indonesia. Reggie dan Felicia dalam jurnalnya, ”Diversity of sambals, traditional Indonesian chili pastes” mengidentifikasi 110 sambal berdasarkan riset terhadap buku-buku masakan lokal.
Jumlah atau angka itu, walau berbeda, sama-sama menguatkan indikasi begitu banyaknya variasi sambal di Indonesia. Sumatera dan Jawa disebut menyumbangkan sambal terbanyak, yaitu 64,5 persen, Kalimantan 10,9 persen, dan Sulawesi 9,1 persen. Pulau lain, seperti Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua, sebanyak 15,5 persen.
Sebanyak 70 persen variasi sambal menggunakan cabai merah besar pedas (Cayenne pepper). Sekitar 56,4 persen sambal menggunakan cabai rawit dan sekitar 10,9 persen memakai cabai hijau. Bahan lain yang kerap ditambahkan dalam sambal Nusantara, yaitu terasi, bawang merah, bawang putih, tomat, dan jeruk.
Dengan Jelajah Sambal Nusantara, Kompas mengajak pembaca berkelana dalam petualangan rasa memanjakan lidah mencicipi kelezatan sambal Nusantara. Tak lupa berbagi cerita dan pengetahuan yang dapat semakin menambah kecintaan pada kuliner Nusantara. Tak lupa pembaca diajak menyambangi para petani cabai dengan problema dan tantangannya, juga tren sambal tradisional kemasan oleh UMKM ataupun industri.
Laporan khusus sambal dari sejumlah daerah dapat disimak mulai 1 Oktober sampai akhir bulan ini. Ulasan khusus per pulau dan menyambut Hari Pangan hadir dalam edisi cetak harian Kompas setiap Rabu mulai hari ini, 2 Oktober, hingga 30 Oktober nanti.
Selamat menikmati!