Seruan Perempuan untuk Hentikan Penyalahgunaan Kekuasaan dalam Pemilu
Seruan moral dari masyarakat sipil kepada elite politik untuk menjaga demokrasi pada Pemilu 2024 terus bergulir.
JAKARTA, KOMPAS āSeruan moral untuk menghentikan praktik penyalahgunaan kekuasaan oleh elite politik dalam Pemilihan Umum 2024 terus digulirkan para perempuan di Tanah Air. Seruan kaum perempuan aktivis tersebut bertujuan untuk menyelamatkan proses demokrasi sesuai amanah konstitusi.
Lima hari menjelang pemilu, hari ini, Jumat (9/2/2024) pagi, ratusan perempuan aktivis dari berbagai organisasi menggelar āMimbar Demokrasi Perempuanā di kawasan Monumen Nasional sekitar Bundaran Patung Kuda, Jakarta.
Para perempuan aktivis yang tergabung dalam Koalisi Perempuan Penyelamat Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) menyampaikan keprihatinan atas situasi menjelang Pemilu 2024, terkait dugaan penyalahgunaan kekuasaan serta pelanggaran etika oleh elite politik dalam kontestasi politik pada Pemilu 2024.
Perempuan aktivis senior, Zumrotin K Susilo, tampil membacakan seruan dari Koalisi Perempuan Penyelamat Demokrasi dan HAM yang didukung lebih dari 500 aktivis organisasi perempuan dan individu. āKami mendesak Presiden menghentikan penyalahgunaan kekuasaan dalam Pemilu 2024,ā ujarnya.
āKami menolak ketidaknetralan presiden karena merusak demokrasi, mengoyak keadilan, dan memecah bangsa, serta menolak penyalahgunaan kekuasaan presiden dalam mendukung pasangan calon dengan melanggar konstitusi, mengukuhkan nepotisme, oligarki, dan patriarki,ā kata Zumrotin.
Baca juga: Deklarasi Koalisi Perempuan Penyelamat Demokrasi dan HAM
Mantan anggota Komnas Perempuan ini juga menyesalkan sikap aparat yang meminta para perempuan memindah lokasi mimbar demokrasi perempuan yang sebelumnya akan digelar di Taman Aspirasi kawasan Monumen Nasional, seberang Istana Merdeka, tetapi dipindah ke sekitar Bundaran Patung Kuda.
Kami menolak ketidaknetralan presiden karena merusak demokrasi, mengoyak keadilan, dan memecah bangsa.
āApa yang dilakukan Jokowi tidak sesuai Nawacita presiden pada tahun 2014, yaitu pemerintah yang berjanji untuk tidak absen dan akan memberi prioritas pada pemulihan kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan,ā ujarnya.
Para perempuan juga menilai Presiden Joko Widodo meninggalkan nilai-nilai demokrasi berperspektif perempuan, suara perempuan yang kritis terhadap sikap presiden juga tak dianggap penting. Bahkan, mereka menilai seruan moral dan kritik dari universitas-universitas dan organisasi masyarakat sipil termasuk perempuan diabaikan.
Karena itu, Koalisi Perempuan Penyelamat Demokrasi dan HAM menyatakan keberatan dengan penggunaan pajak untuk kepentingan politik partisan yang diduga dilakukan presiden dan pendukungnya, melalui pembagian bantuan sosial (bansos) sebagai wajah baru penyalahgunaan kekuasaan.
Para peserta aksi membawa spanduk berwarna ungu dengan tulisan āMimbar Demokrasi Perempuan: Mendesak Presiden Menghentikan Penyalagunaan Kekuasaan dalam Pemiluā. Mayoritas pengunjuk rasa mengenakan baju bernuansa ungu dan bunga mawar sebagai simbol perjuangan para perempuan yang menolak penyalahgunaan kekuasaan.
Mimbar demokrasi perempuan diisi dengan pembacaan orasi dari perwakilan organisasi perempuan, antara lain Solidaritas Perempuan, Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka), Perempuan Mahardhika, Kalyanamitra, Kapal Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, dan JALA PRT.
Baca juga: Seruan dari Kampus Terus Bergulir
Magdalena Sitorus, komisioner Komnas Perempuan (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan) purnabakti tampil membacakan puisi yang ditujukan kepada Presiden Jokowi.
āHarapan sangat dekat dan terjangkau ketika pemerintahan Bapak di periode satu. Namun, menjauh pada periode dua. Bapak yang kami sayangi sebelumnya, Kami kaum perempuan mengingat janji-janjimu serupa dongeng tentang malaikat menyediakan surga,ā tuturnya.
Pada akhir puisinya, Magdalena menyelipkan kata āMasih ada hari, bila nuranimu merindu pada kebenaran dan keadilan. Mencipta kisah seperti sebelumnya yang mempesonaā.
Sejumlah lagu dinyanyikan para perempuan tersebut, seperti āIbu Pertiwiā. Pada akhir mimbar demokrasi, para perempuan ini berjalan mundur sambil menyanyikan lagu āDarah Juangā sebagai simbol mundurnya demokrasi di Indonesia. Selanjutnya, mereka berjalan maju dengan menyanyikan lagu āMaju Tak Gentarā.
Wajah baru
Pada seruan moral tersebut, Koalisi Perempuan Penyelamat Demokrasi dan HAM juga menyatakan keberatan dengan penggunaan pajak untuk kepentingan politik partisan melalui pembagian bansos. Hal ini dinilai sebagai wajah baru penyalahgunaan kekuasaan.
Tak hanya itu, mereka juga menyatakan menolak keberpihakan presiden pada pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang memiliki rekam jejak pelanggaran HAM berat masa lalu dan tanpa pertanggungjawaban di depan hukum, termasuk pemerkosaan massal pada Mei 1998.
āKami menagih sumpah, nilai-nilai, seluruh janji penegakan demokrasi, HAM, kesejahteraan rakyat, dan kepatuhan pada konstitusi yang saat ini diingkari dan menjadi warisan buruk bagi generasi muda Indonesia,ā kata Zumrotin.
Mike Verawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), menegaskan, para perempuan aktivis akan terus bersuara meminta dan mengingatkan Presiden Jokowi agar menjaga demokrasi Indonesia.
āKami mendapat fakta di lapangan ada proses yang tidak sesuai peraturan yang berlaku. Kami melihat Presiden terang-terangan mendukung pasangan calon tertentu. Hari ini, Koalisi Perempuan Penyelamat Demokrasi dan HAM meminta Presiden menghentikan cawe-cawe dalam pemilu ini,ā kata Mike.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menegaskan, aparatur negara dan penyelenggara pemilu harus netral, tak memihak pada kekuatan politik tertentu dalam Pemilu 2024. Semua pihak harus menjaga agar pemilu berlangsung damai, jujur, dan adil, supaya hasil pemilu dihargai dan masyarakat Indonesia kembali bersatu membangun Indonesia (Kompas.id, 7 Februari 2024).
Presiden juga menyatakan tidak akan berkampanye kendati aturan perundang-undangan membolehkannya. Menurut Presiden, Undang-Undang Pemilu dan Pasal 299 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menegaskan bahwa presiden dan wakil presiden berhak berkampanye (Kompas.id, 27 Januari 2024).