Banyak Lulusan STEM Memilih Karier di Bidang Lain
Banyak orang mempelajari ilmu pengetahuan, tetapi pada akhirnya tidak menjadikannya sebagai karier.
Generasi muda Indonesia didorong untuk lebih banyak mengambil pendidikan terkait sains, teknologi, engineering (teknik), dan matematika atau STEM. Kekurangan talenta di bidang STEM ini terus digaungkan. Namun, lulusan STEM ternyata lebih banyak yang tidak bekerja sesuai bidangnya.
Calon presiden (capres) nomor urut dua, Prabowo Subianto, dalam Debat Kelima Capres 2024 pada Minggu (4/2/2024) menyebut pentingnya mendorong program pendidikan (prodi) STEM. Bahkan, disampaikan program untuk mengirim 10.000 anak pintar Indonesia melalui program beasiswa ke luar negeri untuk mempelajari STEM agar kelak Indonesia dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Namun, dari laporan yang ditulis di Times Higher Education, Senin (5/2/2024), Jack Grove dalam tulisan berjudul”Terlalu Sedikit Lulusan STEM? Kita Harus Menjaga yang Kita Punya”, memaparkan penelitian terbaru yang menantang asumsi bahwa universitas adalah pihak yang harus disalahkan atas kurangnya lulusan STEM di tempat kerja. Alasannya, banyak orang yang mempelajari ilmu pengetahuan, tetapi pada akhirnya tidak menjadikannya sebagai karier.
Baca juga : Talenta Muda Bidang STEM Semakin Dibutuhkan
Di sisi lain, ada berbagai kebijakan pemerintah yang justru menghentikan dukungan atau perizinan untuk membuka prodi bidang sosial humaniora. Di Indonesia pun, izin perguruan tinggi baru atau prodi baru lebih diutamakan untuk bidang STEM dan vokasi.
Selain itu, subsidi besar diberikan kepada prodi ilmu pengetahuan, teknologi, teknik, dan matematika. Para siswa juga didesak untuk mengambil gelar ilmiah yang menawarkan karier yang bergaji tinggi dan aman.
Dari data di pangkalan Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang diakses pada Rabu (7/2/2024), terlihat jumlah mahasiswa prodi sosial humaniora yang ternyata peminatnya banyak. Mahasiswa yang memilih prodi pendidikan, ekonomi, agama, dan seni bisa mencapai lebih dari 3,7 juta mahasiswa. Adapun prodi terkait STEM, seperti teknik, matematika, ilmu pengetahuan alam, kesehatan, dan pertanian hanya berkisar 1,7 juta mahasiswa.
Tak bekerja STEM
Sebuah studi baru mengenai tujuan lulusan STEM di Amerika Serikat (AS) berupaya menantang konsensus politik yang telah menjadi kaku di AS, Inggris, dan negara-negara lain. Statistik mengejutkan ditampilkan Guru Besar Sosiologi di University of California, San Diego, John D Skrentny dalam bukunya berjudul Pendidikan Terbuang: Bagaimana Kita Gagal Terhadap Lulusan STEM. Sebanyak 30-60 persen lulusan STEM tidak bekerja di bidang STEM. Angka tersebut bahkan bisa mencapai 72 persen, menurut studi Biro Sensus AS tahun 2021.
”Ada tekanan besar pada anak-anak untuk mengambil jurusan STEM, yang digambarkan sebagai tiket menuju kelas menengah. Jika Anda mengambil gelar dalam mata pelajaran yang 'lebih lembut', guru akan menanyakan apa yang Anda lakukan?”, ujar Skrentny.
Lebih lanjut, Skrentny mengatakan, dirinya terkejut ketika mendengar bahwa sebagian kecil orang Amerika dengan gelar STEM—mungkin hanya sepertiganya—melakukan pekerjaan STEM. ”Kami diberitahu bahwa terdapat kekurangan pekerja STEM yang sangat besar dan kami perlu merombak sistem pendidikan atau membuka pintu imigrasi karena pemberi kerja membutuhkan orang-orang ini. Namun, hanya sebagian kecil lulusan STEM yang bekerja di sektor ini,” ujarnya.
Wacana mengenai kekurangan tenaga kerja di bidang STEM sering kali dibarengi dengan perbincangan tentang ”kebocoran saluran pipa” yang menyebabkan pekerja STEM keluar dari angkatan kerja hanya dalam beberapa tahun. Meskipun ia mengkaji ”eksodus” ini secara mendetail, fakta yang lebih mengejutkan adalah sebagian besar lulusan STEM tidak pernah memasuki profesi STEM sama sekali.
Penelitian menemukan, sekitar 45 persen lulusan STEM di AS mengambil pekerjaan non-STEM setelah lulus dan 20 persen lainnya berada di sekolah pascasarjana untuk mempelajari mata pelajaran non-STEM. ”Beberapa orang akan berhasil melewatinya dan memiliki karier yang memuaskan. Namun, ada juga persepsi bahwa pekerjaan STEM bukanlah pekerjaan yang mereka inginkan,” kata Skrentny.
Sektor STEM lainnya mempunyai kesulitan tersendiri yang melemahkan persepsi masyarakat bahwa mereka bahagia dan mendapatkan tempat kerja yang aman. ”Sejak menerbitkan buku ini, saya mendapat banyak e-mail dari karyawan STEM yang mempunyai cerita sendiri tentang kehidupan di berbagai sektor,” kata Skrentny.
Kebutuhan pekerja STEM sangat besar. Namun, hanya sebagian kecil lulusan STEM yang bekerja di sektor ini.
Ada seorang pria yang bekerja sebagai insinyur di industri minyak membandingkannya dengan menjadi seorang penambang pada tahun 1890-an ketika harga minyak sedang tinggi. Namun, sebaliknya justru terjadi pemutusan hubungan kerja.
Disfungsi dalam biosains juga bisa terjadi. Mungkin para lulusan STEM terlatih, tetapi produk yang dihasilkan tidak mendapatkan persetujuan Food and Drug Administration dan kemudian orang-orang tersebut harus kehilangan pekerjaan.
Gagasan bahwa karier di bidang STEM biasanya lebih menguntungkan dibandingkan peran di luar STEM juga dibahas. Meskipun terdapat laporan mengenai gaji sebesar 500.000 dollar AS (setara 395.000 pound sterling) untuk beberapa mahasiswa doktor baru di Google, Skrentny menemukan bahwa manajer pekerja STEM dibayar sekitar 50 persen lebih tinggi dibandingkan pekerja STEM itu sendiri, yang sering kali keluar dari industri mereka untuk pekerjaan di bidang bisnis, akuntansi, pemasaran, dan penjualan.
Baca juga : Mengapa Bidang STEM Sedikit Perempuan?
Menyeimbangkan
Skrentny mengatakan, tujuan buku ini bukan untuk menyangkal perlunya keterampilan STEM, tetapi untuk ”menyeimbangkan kembali perdebatan” yang didominasi oleh apa yang ia sebut sebagai ”kompleks industri pendidikan STEM”. ”Kompleks industri pendidikan STEM yaitu perusahaan-perusahaan besar yang melobi untuk penyediaan lebih banyak tenaga bidang STEM, tetapi mereka hanya melakukan sedikit upaya untuk mempertahankan staf agar tidak keluar atau berhenti kerja.
”Pengusaha mengeluhkan kekurangan pekerja STEM. Namun, perusahaan-perusahaan ini memiliki insentif yang kuat untuk meminta lebih banyak pekerja teknis daripada merawat pekerja yang sudah ada,” ucapnya.
Tekanan dari perusahaan itu diduga membuat Pemerintah AS menyediakan sekitar 3 miliar dollar AS per tahun untuk mendukung sekitar 207 program universitas elite STEM, dan masih banyak lagi yang bersifat nasional. ”Ada ratusan hal yang dapat dilakukan perusahaan-perusahaan ini untuk memperbaiki catatan buruk mereka dalam mempertahankan staf STEM daripada sekadar meminta universitas memberi mereka lebih banyak ’jeruk untuk diperas’,” papar Skrentny.
Pada akhirnya, universitas dengan cepat dituding tidak menghasilkan cukup banyak lulusan STEM. Padahal, perusahaan juga tidak memperlakukan dengan baik para lulusan STEM di dunia kerja.
”Kita telah mencurahkan sumber daya yang sangat besar untuk membina generasi muda agar dapat berkarier di bidang STEM dengan gaji yang tinggi. Namun, terlepas dari itu semua, kita menghadapi eksodus pekerja, di mana sebanyak 70 persen lulusan STEM memilih untuk tidak bekerja di STEM,” terang Skrentny.