Mendorong Perwakilan Masyarakat Adat ke Senayan
Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat menggantung selama 24 tahun. Perlu ada perwakilan masyarakat adat di parlemen.
WAINGAPU, KOMPAS — Suara masyarakat adat sering kali tidak didengar pemangku kebijakan sehingga kondisi mereka menjadi lemah secara hukum ataupun perekonomian. Karena itu, keterwakilan masyarakat adat untuk duduk di kursi legislasi di tingkat pusat menjadi penting agar keberadaannya diakui negara.
Satu masalah yang paling sering dialami mereka selama ini adalah tak ada pengakuan dari negara terhadap wilayah adat. Akibatnya, tanah dan air yang menjadi sumber penghidupan mereka kerap diambil alih pihak swasta ataupun pemerintah tanpa partisipasi bermakna masyarakat adat.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat, sedikitnya terdapat 301 kasus perampasan wilayah adat selama kurun 2017-2022. Perampasan terhadap wilayah seluas 8,5 juta hektar itu umumnya meliputi sektor perkebunan, pertambangan, dan kawasan hutan negara.
Ketua Program Studi Hukum Universitas Kristen Wira Wacana Sumba Umbu Pajaru Lombu mengutarakan, sejak Indonesia merdeka, pengakuan dan perlindungan negara terhadap hak-hak masyarakat hukum adat terus mengalami degradasi. Berbagai instrumen hukum yang ada belum mampu membuat semua pemerintah daerah memberikan pengakuan kepada masyarakat adat.
Pengakuan tersebut hanya bisa didapatkan jika ada instrumen hukum yang lebih kuat, yakni Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat. Para legislator dan presiden yang terpilih dalam empat kali pemilu sebelumnya pun tidak mampu mengesahkannya.
”Ketika masa kampanye seperti sekarang, para calon ini selalu mengaku dirinya bagian dari masyarakat adat. Akan tetapi, setelah terpilih, mereka lupa dengan agenda pengesahan RUU itu,” kata Umbu Pajaru di Unkriswina, Sumba Timur, Kamis (11/1/2024).
Baca Juga: ”Omnibus Law” Undang-undang Masyarakat Hukum Adat
Instrumen hukum untuk mengakui masyarakat adat sebenarnya sudah banyak diatur dalam berbagai lembar negara. Beberapa instrumen hukum itu antara lain Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B Ayat (2), Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2021, dan UU Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 67.
Selain itu, ada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021. Namun, semua aturan tersebut memiliki celah yang menghambat pengakuan masyarakat adat.
Umbu Pajaru mencontohkan, pemerintah daerah Sumba Timur berdalih kesulitan membuat peraturan daerah sesuai amanat Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 52 Tahun 2014. Sebab, pengertian mengenai kelengkapan persyaratan formal komunitas masyarakat adat di Sumba Timur masih abu-abu.
Sebagai contoh, dalam mengidentifikasi masyarakat adat, keberadaan kerajaan-kerajaan kecil melalui sistem pemerintahan swapraja pada masa lampau dianggap berpengaruh. Padahal, sistem peninggalan kolonial Belanda ini sudah lama dibubarkan dan diganti dengan sistem pemerintahan Indonesia yang dikenal sebagai kecamatan.
Sementara masyarakat adat Sumba Timur tak mengakui sistem kerajaan. Mereka tinggal berkelompok dalam kampung adat berdasarkan kabihu atau marga, yakni persekutuan berdasarkan garis keturunan (genealogis) dan bersatu dengan kabihu lain menjadi komunitas adat.
AMAN mencatat ada 12 komunitas adat di Sumba Timur. ”Jadi, pemerintah daerah kesulitan untuk membuat peraturan daerah karena belum ada kesepakatan saat merumuskan siapa masyarakat hukum adat. Padahal, sudah ada persyaratannya jelas di Permendagri 52 itu,” tutur Umbu Pajaru.
Ini memang tidak realistis, tetapi sekurang-kurangnya saya bisa menyuarakan masalah masyarakat adat lebih kencang.
Adapun persyaratan formal untuk mengidentifikasi masyarakat adat yang dimaksud adalah adanya sejarah, wilayah, hukum, harta kekayaan dan/atau benda-benda adat, serta kelembagaan atau sistem pemerintahan adat.
Komunitas Adat Sumba Timur kebanyakan tidak memiliki kelembagaan kabihu. Mereka biasanya mempercayakan kebihu-nya kepada satu orang, tetapi dia bukan ketua adat.
Keterwakilan
Pengesahan RUU Masyarakat Adat yang menggantung tanpa kejelasan sejak 24 tahun lalu itu bisa disahkan melalui keterwakilan masyarakat adat di kursi wakil rakyat di Senayan, Jakarta.
Peneliti Lembaga Terranusa Indonesia, Ernestus Lalong Teredi, menyatakan, politik keterlibatan akan membangun sikap kritis dan mereaktivasi subyek masyarakat adat dan mampu pula melahirkan kebijakan yang setidaknya berpihak.
”Perjuangan politik masyarakat adat ke depan yakni dengan memperkuat dan memperkokoh tuntutan politik melalui produksi kebijakan. RUU ini harus terus disuarakan secara kontinyu oleh berbagai kalangan pegiat masyarakat adat,” tutur Ernestus.
Baca Juga: Pentingnya Wawasan Agraria bagi Masyarakat Adat
Berdasarkan data AMAN, sejauh ini belum ada perwakilan masyarakat adat yang bisa menembus ke Senayan. Dalam Pemilu 2024, AMAN mendorong 35 orang utusan Masyarakat Adat ikut kontestasi politik di Pemilihan Legislatif 2024, baik di tingkat nasional maupun daerah di seluruh Indonesia.
Salah satunya, Umbu Wulang Tanaamah Paranggi yang mencalonkan diri menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD RI) daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur (NTT). Dia mencoba peruntungan untuk kedua kali tanpa melalui partai politik. Bekalnya hanya perutusan dari komunitas adat Sumba Timur.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTT itu mengakui, dengan kondisi politik sekarang, sangat sulit untuk berharap RUU Masyarakat Adat disahkan. Bahkan, dia tidak menjanjikan keberadaannya nanti di Senayan bisa melobi para politisi agar mengesahkan RUU tersebut.
”Ini memang tidak realistis, tetapi sekurang-kurangnya saya bisa menyuarakan masalah masyarakat adat lebih kencang, ini harus terus dibicarakan. Di NTT ini, orang hanya melihat siapa yang bicara, bukan apa yang dibicarakan,” kata Umbu Wulang.
Baca Juga: Sekolah Adat Mencegah Kepunahan Tradisi
Ketua AMAN Sumba Timur Debora Rambu Kasuatu menambahkan, para calon wakil rakyat dari masyarakat adat ini memiliki kontrak politik yang dikuatkan dengan kearifan lokal, seperti ritual adat. Oleh karena itu, mereka mau memberikan perutusan bagi mereka untuk mewakili masyarakat adat.
Ritual adat yang dimaksud semata-mata demi memperteguh idealisme para calon perwakilan masyarakat adat agar tetap menjaga integritas ketika berada di dalam sistem pemerintahan. Jika ada yang menyimpang, ada karma adat yang bekerja.