logo Kompas.id
Humaniora”Tilaha(on)”
Iklan

”Tilaha(on)”

Kesedihan atas kehilangan anak adalah kesedihan yang tidak terbahasakan. Namun, sepedih apa pun kehilangan, tetap ada istilah yang mengacu pada hal itu: ”tilahaon”.

Oleh
RIDUAN SITUMORANG
· 1 menit baca
Ayah almarhum Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, Samuel Hutabarat (jas hitam), tak kuasa menahan air matanya saat menerima ijazah anaknya saat wisuda di Kampus Universitas Terbuka (UT), Tangerang Selatan, Banten, Selasa (23/8/2022). Almarhum Brigadir Nofriansyah lulus dari Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unit Program Belajar Jarak Jauh (UPBJJ) UT Jambi dengan IPK 3,28. Nofriansyah terdaftar pada UPBJJ UT Jambi sejak tahun 2015.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Ayah almarhum Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, Samuel Hutabarat (jas hitam), tak kuasa menahan air matanya saat menerima ijazah anaknya saat wisuda di Kampus Universitas Terbuka (UT), Tangerang Selatan, Banten, Selasa (23/8/2022). Almarhum Brigadir Nofriansyah lulus dari Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unit Program Belajar Jarak Jauh (UPBJJ) UT Jambi dengan IPK 3,28. Nofriansyah terdaftar pada UPBJJ UT Jambi sejak tahun 2015.

Di tengah kasus buram Brigadir J, orang-orang seperti menyadari satu hal tentang pedihnya kehilangan. Ternyata, betapapun pedihnya sebuah kehilangan, kita tetap bisa mengartikannya dengan sebuah bahasa ringkas. Bahasa Indonesia termasuk kaya dalam mengungkapkan sebuah kehilangan secara ringkas.

Janda, misalnya, untuk istri yang kehilangan suami, duda untuk suami yang kehilangan istri, yatim untuk anak yang kehilangan ayah atau ibu, dan yatim piatu untuk anak yang kehilangan kedua orangtuanya. Namun, bahasa Indonesia ternyata tak cukup kuat untuk mengungkapkan kondisi seorang ibu/ayah yang kehilangan anaknya.

Editor:
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Bagikan