Fadjroel Rachman, Meretas Diam Bawah Tanah
Dalam penjelajahannya di empat penjara masa Orde Baru, Fadjroel Rachman meretas diam bawah tanah lewat puisi-puisinya.
Saya belum genap berusia satu tahun ketika Goenawan Mohamad mengulas terbitan pertama Catatan Bawah Tanah di Catatan Pinggir majalah Tempo tahun 1993. Begitu pun ketika T Mulya Lubis mengulas buku kumpulan puisi tersebut secara lebih komprehensif dengan judul ”Suara Hati dari Balik Terali Besi”. Saat kedua tulisan tersebut dibuat, Indonesia masih berada dalam cengkeraman rezim otoriter Orde Baru yang terus berupaya melanggengkan diri dengan tindakan-tindakan represif-militeristik.
Dalam ulasannya, Goenawan mengakui puisi-puisi Fadjroel Rachman sebagai ”puisi aktivis, grafiti kemarahan di tembok sel, gema kegeraman sendiri di ruang tertutup, pernyataan hasil renungan yang tidak ingin bimbang”. Sementara itu, Mulya Lubis membaca puisi yang ditulis oleh seorang anak muda yang ”dalam usianya yang produktif ia dibelenggu oleh tembok-tembok penjara” tersebut penuh dengan kemarahan dan kritik tajam. Dengan luwes Mulya Lubis juga mengaitkan kritik-kritik dalam puisi Fadjroel Rachman dengan konteks kebijakan dan perundang-undangan di Indonesia. Secara khusus, Mulya Lubis mengaitkannya dengan contempt of court.