Demi mendapatkan segala kemampuan itu bapak harus puasa pati geni, tinggal di kamar sendiri, tanpa cahaya, tanpa makan dan minum selama empat puluh hari.

Kehadiran teater kontekstual yang terlibat dengan persoalan sosial-politik sangat penting untuk mengkritisi kekuasaan.

Kekuasaan seharusnya menjadi urusan publik. Ketika terjadi privatisasi kekuasaan, obyektivitas atau keadilan pun tergerus. Kini berakhirlah narasi orang harus berdarah-darah berjuang sebelum menjadi pemimpin nasional.

Politikus berkarakter kini semakin langka. Ini terjadi seiring perkabungan politik di negeri ini pasca-Orde Lama: ideologi ”sudah wafat”. Reformasi 1998 juga lepas dari anak-anak muda yang telah berjuang berdarah-darah.

Ucapan itu menggetarkan rongga dada para malaikat. Ada yang terharu. Ada yang menangis. Ada yang memeluk orang tua itu.

Para tokoh pendiri republik ini telah memberikan contoh kecerdasan penuh kearifan: perbedaan politik dan cara berpikir tidak jadi penghambat dalam merajut persaudaraan kebangsaan.

Gejala munculnya demokrasi yang sakit makin terasa saat kontestasi pemilu/pilpres mulai digelar. Media arus bawah/media sosial menjadi panggung para aktor melontarkan kampanye hitam terhadap capres kubu yang jadi lawan.

Krisis nilai yang beririsan dengan krisis keteladanan sedang melanda negeri ini. Penyelenggara negara dan aktor-aktor strategis lebih berperan sebagai pelaku niaga. Negeri tanpa keteladanan tak lebih dari rimba gelap.