Kinerja Legislasi
Kepentingan Publik yang Hilang
Rakyat, yang akan terkena dampak peraturan perundang-undangan, sudah sepatutnya dilibatkan dan didengarkan saat undang-undang itu dibuat. ”Nihil de nobis, sine nobis. Nothing about us, without us”.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F09%2F20190917_ENGLISH-PENGESAHAN-REVISI-UU-KPK_D_web_1568724936.jpg)
Deretan kursi kosong mewarnai Rapat Paripurna DPR ke-9 masa sidang tahun 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/9/2019). Dalam rapat itu, revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disahkan menjadi undang-undang.
Bulan madu rakyat dengan elite saat Pemilihan Umum 2019 berakhir begitu lekas. Dibahasnya sejumlah rancangan undang-undang bermasalah secara tertutup pada akhir tahun ini menunjukkan pelibatan rakyat dalam demokrasi masih sebatas urusan prosedural. Kepentingan politik elite mendominasi proses legislasi, menyisakan sedikit hingga tidak ada ruang bagi publik.
Tidak berlebihan jika kinerja legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah sepanjang tahun ini dinilai buruk. Lima bulan pertama praktis dihabiskan anggota DPR, yang 94 persen di antaranya kembali maju di pemilu, untuk kampanye. Kinerja legislasi pun hiatus di tengah kesibukan para wakil rakyat mempertaruhkan nasib demi menjabat lima tahun lagi.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi di halaman 4 dengan judul "Kepentingan Publik yang Hilang".
Baca Epaper Kompas