logo Kompas.id
β€Ί
Sastraβ€ΊPuti Mani dan Hikayat Pohon...
Iklan

Puti Mani dan Hikayat Pohon Kelapa

Sejak pertemuan siang itu, Sambiludin bagai ditelan Riak Mamacah. Kepergiannya tanpa pamit. Tanpa jejak.

Oleh
BONI CHANDRA
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/c6FNmp1HQrHiypCb8v8ZS6TDh1g=/1024x1448/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F07%2F24%2F02d19e0d-8869-4351-b086-fa517cdde8d8_jpg.jpg

Tersebutlah Riak Mamacah; daerah rantau Minangkabau yang dibangun di tanah subur. Konon, di tanah yang subur itu, hanya ada satu orang yang memiliki hak atas kelapa. Pada masa itu, setiap tanah yang ditumbuhi pohon kelapa adalah kepunyaan satu. Sementara pohon kelapa tak hanya tumbuh di tanah ladang. Pohon kelapa juga ada di pinggir pantai, di sisi jalan, bahkan di halaman rumah. Di sana, jumlah kelapa tiga puluh tiga kali lipat jumlah kepala manusia. Dan semuanya telah diwariskan oleh seorang ibu kepada anak perempuannya yang bernama Puti Mani.

Seperti halnya garis keturunan di Minangkabau, Puti Mani adalah ahli waris yang sah atas setiap tanah yang ditumbuhi pohon kelapa. Ia anak perempuan satu-satunya dalam kaumnya. Dan atas alasan itu pula, baik ibu maupun mamaknya, mulai mendesak Puti untuk segera menikah.

Editor:
DWI AS SETIANINGSIH
Bagikan