logo Kompas.id
RisetBansos, dari Bantuan Negara...
Iklan

Bansos, dari Bantuan Negara hingga Politisasi

Tak sekadar bantuan, bansos juga bisa dilihat sebagai upaya negara mengikat warganya dalam ikatan pamrih politik.

Oleh
M TOTO SURYANINGTYAS
· 6 menit baca
Warga membawa beras bantuan yang diserahkan Presiden Joko Widodo kepada 500 keluarga di Gudang Bulog Sumatera Barat, Kota Padang, 25 Oktober 2023. Dalam kesempatan itu, Presiden juga memberikan bantuan langsung tunai antisipasi El Nino sebesar Rp 400.000 untuk dua bulan, November-Desember 2023.
KOMPAS/YOLA SASTRA

Warga membawa beras bantuan yang diserahkan Presiden Joko Widodo kepada 500 keluarga di Gudang Bulog Sumatera Barat, Kota Padang, 25 Oktober 2023. Dalam kesempatan itu, Presiden juga memberikan bantuan langsung tunai antisipasi El Nino sebesar Rp 400.000 untuk dua bulan, November-Desember 2023.

Program bantuan sosial atau bansos bukanlah hal baru di Indonesia. Sesuai dengan mandat konstitusi, negara hadir dalam wujud program karitatif berbentuk bansos, sebagai bagian dari skema perlindungan sosial. Meski demikian, sifat bansos yang langsung memberi dampak pada pemenuhan kebutuhan masyarakat sangat rentan dipolitisasi.

Jelang pemilihan umum, program bantuan sosial kerap dikaitkan sebagai komoditas elektoral. Hal ini tidak terlepas dari temuan sejumlah bansos yang memuat pesan atau gambar pasangan calon tertentu. Bantuan sosial berupa beras ukuran 10 kilogram dengan gambar pasangan calon peserta pilpres ditemukan di beberapa daerah di Jawa Tengah dan fotonya beredar di aplikasi percakapan Whatsapp.

Laporan investigasi harian Kompas, Kamis (18/1/2024), juga menemukan banyak kasus politisasi bansos oleh caleg di daerah pemilihan. Dengan modus memanipulasi Program keluarga Harapan (PKH), para caleg menunggangi pesan agar para pemilih di daerah itu mencoblos sang caleg nantinya.

Baca juga: Caleg DPR Membajak Program Bantuan Sosial

Bansos ataupun bantuan langsung tunai (BLT) merupakan sarana bantuan negarabagi warga yang sedang kesulitan ekonomi. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial yang diubah menjadi UU No 14/2019 tentang Pekerja Sosial menyebutkan, bansos merupakan bagian dari skema perlindungan sosial yang bertujuan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan sosial. Bansos dimaksudkan agar seseorang, keluarga, atau kelompok masyarakat yang mengalami kerentanan sosial dapat tetap hidup secara wajar.

Skema perlindungan sosial ini pernah dilaksanakan pada krisis ekonomi 1998. Saat itu, pemerintah melaksanakan kebijakan jaring pengaman sosial dalam empat program, yaitu Ketahanan Pangan, Padat Karya, Perlindungan Sosial, serta program Pengembangan Industri Kecil dan Menengah. Kebijakan tersebut dituangkan dalam Keppres No 190/1998 tentang Pembentukan Gugus Tugas Peningkatan Jaring Pengaman Sosial.

Kebijakan serupa juga dilakukan pemerintah saat menghadapi dampak krisis pandemi. Selama masa pandemi Covid-19 dari Maret 2019 hingga akhir 2022, berbagai bentuk bansos terbukti sangat membantu perekonomian masyarakat yang didera kemandekan kegiatan ekonomi karena dilakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat).

https://cdn-assetd.kompas.id/b-EQjF2_3cw59B7igwp06WtAPJA=/1024x2080/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F22%2F6c300675-42be-4584-bad6-a7b9c9fe824b_png.png

Rentan penyelewengan

Bansos kerap kali dipakai menjadi lahan manipulasi dan alat tunggangan untuk memengaruhi pilihan politik karena sifatnya yang langsung mengena kepada penerimanya. Hal ini membuat bantuan negara tersebut dapat dialihkan penyebutannya sebagai bantuan personal.

Bahkan, tak hanya dimanipulasi untuk politik, dana bansos pun menjadi sasaran korupsi oknum pejabat, termasuk bansos dalam rangka penanganan Covid-19. Tercatat nama bekas Menteri Sosial Juliari P Batubara yang dihukum 12 tahun penjara di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Agustus 2021. Juliari terbukti terlibat korupsi pengadaan bansos untuk warga terdampak pandemi Covid-19 di wilayah Jabodetabek pada 2020.

Juliari terbukti memerintahkan pejabat kuasa pengguna anggaran Kementerian Sosial dan pejabat pembuat komitmen Kemensos memungut fee atau imbalan Rp 10.000 per paket sembako kepada perusahaan yang terlibat dalam pengadaan bansos untuk penanganan pandemi Covid-19 pada 2020.

Bekas Menteri Sosial Juliari P Batubara di Gedung KPK, Jakarta, 1 April 2021. Juliari tersangkut kasus suap pengadaan bantuan sosial Covid-19.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK)

Bekas Menteri Sosial Juliari P Batubara di Gedung KPK, Jakarta, 1 April 2021. Juliari tersangkut kasus suap pengadaan bantuan sosial Covid-19.

Saat itu, Kemensos mengelola 1,9 juta paket bansos di wilayah Jabodetabek dengan nilai anggaran Rp 6,8 triliun. Tiap paket dianggarkan senilai Rp 300.000 dan disalurkan sebanyak 12 kali. Adapun total imbalan yang diterima Rp 32,4 miliar. Sebagian uang itu mengalir ke Juliari Rp 15,1 miliar. Uang itu juga mengalir ke sejumlah pejabat Kemensos untuk membeli sepeda mahal, rumah, dan membayar uang muka mobil (Kompas, 24/8/2021).

Bukan hanya saat pandemi. Sebelumnya, temuan korupsi dan penyelewengan bansos juga terungkap pada 2012. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan pemerintah tahun 2012 menemukan adanya kelemahan dalam pengendalian belanja bansos. Kelemahan itu sudah dimulai sejak penganggaran, pelaksanaan, hingga pertanggungjawaban.

Bahkan, dalam hasil pemeriksaan tahun anggaran 2012 ditemukan Rp 31,66 triliun bansos yang bermasalah. Alokasi dana bansos di kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah menjadi salah satu sektor yang paling banyak ditemukan indikasi penyelewengan, korupsi.

Baca juga: Bansos Mengucur Jelang Pemilu, Suatu Kebetulan?

Tak heran, KPK saat itu akhirnya mengeluarkan surat edaran yang meminta pemerintah membekukan dana bansos hingga pemilu selesai karena rawan diselewengkan. Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) saat itu, Muhammad Yusuf. juga meminta agar dana bansos tidak dicairkan selagi belum ada parameter yang jelas, apalagi menjelang Pemilu 2014. PPATK pernah menemukan transaksi keuangan mencurigakan dari penggunaan dana bansos tersebut.

Iklan

https://cdn-assetd.kompas.id/FsyVMMxq9WSjqt8PsYLavP85XZs=/1024x3148/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F22%2Fa74c5e09-c3f8-4c55-add5-20d4d85a5a35_png.png

Integrasi data

Di sisi lain, salah satu problematika terbesar bansos adalah belum adanya peta jalan yang komprehensif, termasuk tidak ada acuan kapan bansos akan diberikan dan kapan akan dihentikan. Peta jalan itu mencakup perspektif dasar filosofis bansos, kebijakan, substansi, dan teknis pelaksanaan.

Adapun tantangan yang harus diatasi mencakup akurasi data, penargetan sasaran, kerentanan, transparansi, dan akuntabilitas. Hal itu karena krisis ekonomi, resesi, bahkan pandemi diperkirakan akan sangat mungkin terjadi lagi di masa mendatang.

Merujuk publikasi ”Dilema Bansos, Pembelajaran dari Pandemi dan Urgensi Reformasi Tata Kelola (2023)”, penyusunan peta jalan juga tak mungkin dibangun eksklusif tanpa partisipasi organisasi masyarakat sipil. Dengan demikian, aspek-aspek desain kebijakan bansos memiliki akuntabilitas, transparansi, dan adaptasi yang memadai.

Pemerintah juga perlu mempercepat proyek Satu Data Indonesia (SDI) untuk dijadikan basis data kependudukan karena sinkronisasi dan harmonisasi data para penerima manfaat bansos masih sangat lemah. Saat ini, antara data kependudukan BPS dan Dukcapil masih memiliki selisih perbedaan dan belum sepenuhnya diintegrasikan.

Petugas pengawas memotret warga penerima bantuan uang tunai di Balai Desa Kaponan, Kecamatan Pakis, Magelang, Jawa Tengah (28/11/2022).
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Petugas pengawas memotret warga penerima bantuan uang tunai di Balai Desa Kaponan, Kecamatan Pakis, Magelang, Jawa Tengah (28/11/2022).

Pemutakhiran Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) perlu terus dilakukan di tingkat desa dan kelurahan sebagai garda terdepan pendataan penerima manfaat bansos. Saat ini masih belum terdapat standar yang sama sehingga tumpang tindih produksi data masih terus terjadi.

BPK juga melakukan eksaminasi terhadap bansos dan menemukan beberapa kesalahan yang merugikan negara. Pertama, keluarga penerima manfaat (KPM) PKH dan sembako/BPNT serta bantuan sosial tunai (BST) tidak ada di DTKS.

Kedua, juga tidak ada di usulan pemerintah daerah yang masuk melalui aplikasi Sistem Kesejahteraan Sosial-Next Generation (SIKS-NG). Ketiga, masih ada KPM yang bermasalah pada 2020, tetapi masih menerima bansos pada 2021. Keempat, KPM dengan nomor induk kependudukan invalid dan, kelima, KPM yang dilaporkan sudah meninggal dan KPM bansos ganda.

https://cdn-assetd.kompas.id/pgnYn0If_q8IZiWPzOB6JsTlGTI=/1024x1728/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F04%2F6624c918-2260-4b29-9985-fc132c14e6aa_png.png

Negara menyapa

Bantuan kesejahteraan sosial adalah amanat konstitusi dan sudah mendapat lampu hijau dari DPR. Bahkan, selama masa Covid-19 pemerintah diberikan kelonggaran memperlebar defisit APBN lebih dari 3 persen terhadap PDB, alias melebihi ketentuan yang diatur dalam UU Keuangan Negara.

Hanya saja, produk kebijakan terkait penyaluran bansos selama pandemi sangat beragam dan tersebar di setiap instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Banyak program bansos yang tersebar di berbagai kementerian/lembaga. Sedikitnya terdapat 89 program dengan kategori bansos, atau bantuan pemerintah, atau subsidi yang digolongkan sebagai program bagi masyarakat kurang mampu.

Meski demikian, pemerintah mencatat kesuksesan bansos dalam membantu masyarakat mengurangi beban hidup pada saat kondisi sulit. Merunut hasil survei Kompas pada Desember 2023, kondisi perekonomian sehari-hari merupakan hal yang paling dikeluhkan responden. Persoalan harga kebutuhan pokok, lapangan kerja, dan perekonomian keluarga senantiasa dikeluhkan publik sebagai tiga besar persoalan utama dalam hidup mereka.

Kementerian Keuangan menyatakan, efektivitas bansos terlihat pada kekuatan mengungkit kondisi ekonomi masyarakat di saat pandemi. Demikian juga saat ini ketika kondisi perekonomian masyarakat sangat terbantu dengan kucuran bansos dari pemerintah.

Baca juga: Perekonomian Turun, Bansos Diapresiasi

Untuk tahun 2024 sudah dianggarkan hampir Rp 450 triliun dana bansos dalam berbagai sektor. Tak hanya untuk bulan-bulan akhir 2023, Presiden Joko Widodo bahkan sudah merencanakan bansos hingga pemilu putaran kedua demi menjaga kondisi ekonomi masyarakat.

Pada akhirnya, bansos sebenarnya lebih dirasakan sebagai sapaan negara kepada warga negara yang langsung mengena pada kebutuhannya. Bansos juga bisa dilihat sebagai upaya negara mengikat warganya dalam ikatan pamrih dan kepentingan yang rawan penyelewengan politik. (LITBANG KOMPAS)

Baca juga: Jaring-jaring Pengaman Krisis

Editor:
ANDREAS YOGA PRASETYO
Bagikan