Gerakan Mahasiswa dan Akademisi Dianggap Bentuk Kegeraman atas Situasi Demokrasi
Gerakan akademisi dan intelektual mengkritisi kebijakan pemerintah merupakan bentuk kegeraman atas kondisi demokrasi.
JAKARTA, KOMPAS — Maraknya gerakan akademisi dan kaum intelektual akhir-akhir ini yang mengkritisi kebijakan pemerintah merupakan bentuk kegeraman mereka atas situasi Indonesia saat ini, khususnya mendekati pelaksanaan Pemilu 2024. Para akademisi itu menilai ada banyak hal terkait menurunnya demokrasi di Indonesia yang harus dihentikan.
Aktivis Hak Asasi Manusia sekaligus mahasiswa Program Doktoral School of Cultural History and Language, The Australian National University,Anita Wahid, Minggu (11/2/2024), di Jakarta, misalnya, menuturkan hal yang melatarbelakangi aksi mahasiswa di Canberra, Australia, dengan mengeluarkan ”Maklumat Canbera”, beberapa hari lalu.
”Kami sudah tidak lagi di titik gusar atau khawatir, tetapi di titik geram dan marah sebenarnya karena semua hal ketidaknetralan, intimidasi, penggunaan aparatur negara, penggunaan sumber daya negara dipergunakan dan dipertontonkan secara gamblang tanpa lagi ada rasa malu,” ujar putri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid itu dalam diskusi ”Kotak Pandora, Manipulasi Demokrasi dan Perlawanan Kaum Intelegensia: Outlook Demokrasi LP3ES 2024” yang diselenggarakan Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).
Hadir sebagai pembicara lain, di antaranya pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Herlambang Wiratraman; sosiolog Universitas Indonesia, Meuthia Ganie-Rochman; dan pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hadi Rahmat.
Anita menyoroti bahwa apa yang terjadi di Indonesia saat ini jauh dari praktik politik yang benar atau norma dan etik politik. Tak hanya itu, penguasa juga melakukan pembenaran dengan mengeluarkan dalil-dalil hukum, misalnya soal presiden boleh kampanye, padahal yang diambil hanya sebagian dari aturan itu.
Sementara, di sisi lain, para mahasiswa memiliki pekerjaan meneliti hal-hal terkait semua permasalahan bangsa, mulai dari kebijakan publik, instrumen demokrasi, institusi, dan norma-norma. Dan mereka melihat yang terjadi saat ini merupakan titik kulminasi sejak tahun 2019 sampai sekarang.
Selama ini, mereka memantau bahwa demokrasi membutuhkan partisipasi publik. ”Memang, dari 2014 partisipasi publik bisa dikatakan paling kuat sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Namun, partisipasi publik itu sangat dikotori oleh buzzer, narasi populis, doxing, trolling, dan lainnya yang akhirnya membuat partisipasi publik dipertanyakan kejernihannya akibat mesin penyebar propaganda,” katanya.
Para mahasiswa, lanjut Anita, juga melihat bagaimana narasi populis, terutama menyangkut polarisasi, dimanfaatkan untuk memberikan legitimasi kepada pemerintah dan parlemen guna mewujudkan berbagai macam undang-undang yang dinilai ajaib. Mengizinkan pemerintah memberlakukan kebijakan yang diragukan peruntukannya, apakah untuk masyarakat atau sekelompok orang.
”Kita juga lihat partisipasi masyarakat yang kuat itu, salah satunya jadi senjata yang digunakan oleh penguasa untuk memberikan legitimasi guna membikin acak-acakan kondisi demokrasi kita,” katanya.
Selama lima tahun terakhir, lanjut Anita, pihaknya melihat Presiden Joko Widodo—yang di awal kepemimpinannya menyatakan akan menegakkan demokrasi dan hak asasi manusia—ternyata kondisi demokrasinya jauh lebih buruk pada periode kedua kepemimpinannya.
Hal itu, kata dia, terlihat dari bagaimana penegakan hukum makin keras terhadap kritik, bagaimana undang-undang yang diberlakukan juga semakin membungkam berbagai kelompok (ruang gerak semakin sulit karena UU ITE). Selain itu, UU di sektor perburuhan juga tidak berpihak kepada buruh, begitu pula kasus HAM ditinggalkan dan muncul kasus HAM baru. Arah dan tujuan partai politik juga tidak jelas.
Herlambang Wiratraman mengatakan, akhir-akhir ini tidak hanya kampus dan akademisi yang menyampaikan kritik kepada penguasa, tetapi juga ada kampus dan akademisi yang membentengi kerja penguasa sudah baik. Ada indikasi hal itu tidak terlepas dari upaya campur tangan institusi negara, dalam hal ini kepolisian.
Menurut Herlambang, tindakan represi kepada kampus akan berdampak buruk pada iklim produksi pengetahuan sekaligus melemahkan daya juang ilmuwan Indonesia dalam berkompetisi dengan kampus di dunia internasional.
Represi terhadap kampus, kata dia, setidaknya bisa dilihat dalam tiga hal, yakni represi melalui kebijakan dan hukum yang dilahirkan, represi melalui kooptasi kekuasaan yang terus-menerus ditradisikan dan diselebrasikan oleh dunia kampus itu sendiri, dan represi melalui proses kriminalisasi gugatan hingga kekerasan, termasuk kekerasan digital.
”Akar dari represi ini bisa dilihat dari tiga hal ini. Tumbuhnya dari represi ini bisa dilihat dari kebijakan birokratisasi, sentralisasi, pelembagaan tunggal, kebijakan pendisiplinan melalui akreditasi yang kadang dianggap tidak masuk akal, hingga pengabsah hukum untuk menyingkirkan mereka yang kritis,” katanya.
Menurut Herlambang, marjinalisasi kebebasan akademik menguat di masa politik otoritarian pemerintah saat ini. Ada beberapa arguman, yakni kampus di Indonesia selama ini memang dirusak akibat melekatnya budaya feodalisme di institusi kampus itu sendiri, warisan otoritarianisme yang tidak bergeser dan terus-menerus ditumbuhkembangkan, serta akumulasi modal yang melekat dalam liberalisasi universitas.
”Ini yang kemudian melahirkan kekerasan dalam segala bentuknya di kampus-kampus. Sementara menguatnya otoritarianisme memperburuk perlindungan kebebasan akademik dan kebebasan produksi pengetahuan ilmiah,” ucapnya.
Tumbuhnya dari represi ini bisa dilihat dari kebijakan birokratisasi, sentralisasi, pelembagaan tunggal, kebijakan pendisiplinan melalui akreditasi yang kadang dianggap tidak masuk akal, hingga pengabsah hukum untuk menyingkirkan mereka yang kritis.
Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES Wijayanto mengatakan, saat ini banyak kaum intelegensia yang melakukan perlawanan dan mendeklarasi kekecewaan terhadap demokrasi di Indonesia. Puncaknya berawal dari kasus intervensi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga publik kecewa terhadap pemerintahan Joko Widodo.
Menurut dia, mulai 2019, dari tahun ke tahun situasi demokrasi di Indonesia makin memburuk. Di awal pemerintahannya, banyak pihak optomistis dan membuat slogan ”Jokowi adalah kita”. Saat itu gelombang dukungan datang dari mana-mana. Namun, ketika tiba-tiba muncul Maklumat Canberra, kondisinya berbalik 180 derajat dari 2014.