Prihatin akan Kondisi Bangsa, Masyarakat Sipil Serukan Penyelamatan Indonesia
Masyarakat sipil gelisah dengan kondisi politik terkini di Tanah Air. Mereka menyerukan agar Indonesia diselamatkan.
JAKARTA, KOMPAS — Hujan deras yang mengguyur kawasan di seberang Istana Merdeka, Jakarta, tak menyurutkan semangat ratusan masyarakat sipil menyerukan keprihatinan atas kondisi bangsa. Selain menyerukan penyelamatan Indonesia dari kepentingan dan ambisi kekuasaan segelintir orang, mereka juga mendorong agar pemerintahan kembali dijalankan untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
Kalangan masyarakat sipil dari beragam latar belakang itu turun ke jalan karena prihatin akan kondisi bangsa saat ini. Sembari memegang payung hitam, mereka mengumandangkan lagu ”Darah Juang” dan membacakan petisi.
”Fakta-fakta historis dan kekinian dengan sangat jelas menunjukkan bahwa penguasaan negara dan sumber daya oleh segelintir orang, keluarga, dan penguasa telah meminggirkan dan merampas hak-hak rakyat di negara ini,” kata Al Araf, Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, yang menjadi salah satu individu yang tergabung dalam seruan masyarakat sipil tersebut, Kamis (1/2/2024).
Baca juga: Tafsir Rasa Cemas Saat Presiden Jokowi ”Turun Gunung” di Pemilu
Seruan itu disampaikan dalam aksi Kamisan ke-804. Sejumlah aktivis yang hadir dalam pembacaan petisi itu antara lain Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid dan Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia Julius Ibrani. Hadir pula dalam aksi tersebut pengamat politik Eep Saefulloh Fatah, pemikir kebinekaan Sukidi, pengamat militer Connie Bakrie, Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani, dan Sumarsih (ibu dari Norma Irawan alias Wawan, mahasiswa Universitas Trisakti yang menjadi korban Semanggi I).
Petisi setidaknya ditandatangani oleh 145 organisasi atau kelompok masyarakat sipil, seperti Imparsial, Walhi, Elsam, Indonesia Corruption Watch, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Kontras, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Centra Initiative, Setara Institute, Perludem, HRWG, dan ICJR. Seruan tersebut juga dilakukan oleh 130 individu, seperti Sumarsih, Suciwati (istri almarhum Munir), Paian Siahaan (orangtua Ucok Munandar Siahaan, korban penghilangan paksa 1997/1998), Romo Franz Magnis-Suseno, Halida Nuriah Hatta, Ikrar Nusa Bhakti, Sulistyowati Irianto, dan lain-lain.
Melalui petisi itu, masyarakat sipil menyampaikan, Indonesia tidak dibangun dan didirikan untuk kepentingan segelintir orang, kelompok, atau keluarga, tetapi untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Di negeri ini, kekuasaan tidak boleh hanya dimonopoli, didominasi, dan dikuasai oleh kalangan terbatas. Hal tersebut bertentangan dengan semangat dan cita-cita pendirian negara Indonesia.
Fakta-fakta historis dan kekinian dengan sangat jelas menunjukkan bahwa penguasaan negara dan sumber daya oleh segelintir orang, keluarga, dan penguasa telah meminggirkan dan merampas hak-hak rakyat di negara ini.
Menurut para pendukung petisi, cukup sekali rakyat mengalami rezim otoriter di bawah penguasaan Soeharto dan kroni-kroninya selama 32 tahun. Kondisi tersebut tidak boleh terulang kembali.
”Kami masyarakat sipil menilai majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden Prabowo Subianto nyata-nyata mengabaikan agenda reformasi 1998. Pencalonan Gibran sarat dengan praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) serta melanggar etika konstitusi. Tidak ada kepentingan rakyat yang diwakili karena kepentingan utamanya adalah untuk mengamankan dan melanggengkan kekuasaan pribadi, keluarga, dan kroni-kroni Jokowi. Ini jelas tidak sejalan dengan tujuan negara sebagaimana tertuang di dalam konstitusi dan mengancam hak-hak konstitusional warga,” kata Araf.
Oleh mereka, Gibran dinilai tak layak maju sebagai cawapres. Demikian juga Prabowo yang dinilai tak pantas mencalonkan diri karena yang bersangkutan merupakan orang yang bertanggung jawab dalam kasus penculikan dan penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998. Selain itu, proyek food estate yang dijalankan oleh Kementerian Pertahanan di bawah kepemimpinan Prabowo juga tidak berhasil.
Masyarakat gelisah
Usman Hamid saat diwawancara secara terpisah mengatakan, banyaknya orang yang bergabung dalam aksi Kamisan menjadi tanda banyaknya komponen bangsa yang mulai gelisah dengan perkembangan politik di Tanah Air yang dipandang semakin keluar dari jalur demokrasi dan reformasi. Bahkan, keluar dari etika yang sebenarnya merupakan semangat dasar mengapa demokrasi digerakkan di Indonesia untuk menggantikan pemerintahan otoriter Soeharto.
Gerakan semacam ini akan terus disuarakan meskipun nantinya Prabowo terpilih sebagai presiden. Seperti diketahui, sejumlah lembaga survei memublikasikan bahwa Prabowo berpotensi memenangi Pemilu Presiden 2024.
”Paling tidak inisiatif-inisiatif gerakan semacam ini dapat menyampaikan pesan bahwa tidak mudah untuk merobohkan bangunan demokrasi, tidak mudah untuk mengembalikan Indonesia ke masa-masa otoriter dulu atau kembali ke UUD 1945 yang tanpa ada batasan kekuasaan pemerintahan,” kata Usman.
Sementara itu, pengajar militer Connie Bakrie pun hadir dalam aksi Kamisan itu. Ia mengaku baru pertama kali mengikuti aksi tersebut karena diundang oleh Al Araf. ”Saya sama Al Araf itu enggak pernah kompak selama hidup saya. Saya selalu membela TNI dan Al Araf menurut saya mengacak-acak TNI, tapi di titik ini sekarang kita bersama. Kenapa?” tanya Connie.
Ia pun menjawab, hal tersebut karena sikap Presiden Jokowi yang sudah keterlaluan dan terlalu jauh ketika menyatakan bahwa tak masalah jika presiden berkampanye.
Connie menilai banyak hal perlu diluruskan. ”Yang paling penting begini ya, beliau teriak-teriak bagaimana revolusi mental, revolusi moral, revolusi apa pun itu yang saya pikir yang harus dia lakukan kepada dirinya sendiri adalah revolusi etika. Sebab, kalau tidak punya etika seperti ini, negara dalam bahaya,” katanya.
Sementara itu, sekitar 2.000 aktivis 1998 dan lintas generasi berziarah di makam para mahasiswa korban reformasi pada Kamis pagi. Pada sore harinya, mereka bergabung dalam aksi Kamisan.
Benny Rhamdani yang turut serta dalam kegiatan tersebut mengungkapkan, kegiatan itu untuk memberi pesan kepada negara bahwa kejahatan kemanusiaan berupa penghilangan nyawa terhadap para martir demokrasi sudah terjadi. Korban-korban tersebut bukan meninggal dengan sendirinya, melainkan menjadi korban penembakan dan pembunuhan oleh rezim yang berkuasa saat itu.
Namun, menurut Benny, hingga kini pelaku kejahatan HAM tersebut belum juga tersentuh oleh hukum. Pelaku pelanggaran HAM tersebut bahkan kini telah mencoba mencalonkan diri sebagai presiden hingga tiga kali.
”Istana yang megah sebagai simbol kedaulatan rakyat ini dimasuki jelas-jelas orang yang mempunyai rekam jejak kejahatan HAM, penculikan aktivis dan penghilangan nyawa,” kata Benny seraya menambahkan tak ingin semangat reformasi dikhianati.
Bergulir
Aksi keprihatinan atas kondisi bangsa terus bergulir. Menurut rencana, Jumat (2/2/2024), sivitas akademika Universitas Indonesia (UI) akan menggelar mimbar akademik untuk menyikapi perkembangan politik Tanah Air.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto mengungkapkan, mimbar akademik di depan Rektorat UI digelar untuk menyikapi perkembangan politik terakhir menjelang pemungutan suara. Sivitas akademika UI merasa prihatin atas hancurnya tatanan hukum dan demokrasi akibat pelaksanaan pemilu yang tidak beradab serta tidak bermartabat.
”Intinya kami menyikapi perkembangan politik terakhir menjelang Pemilu 2024,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (1/2/2024).
Adapun permasalahan utama pemilu, lanjut Sulistyowati, adalah pelanggaran netralitas dan kecurangan oleh penyelenggara negara. Pemilu saat ini diwarnai dengan pengerahan kekuatan lembaga kenegaraan dan sumber dana tanpa batas.
Baca juga: Menanti ”Kompas” Moral Presiden
Segala macam kecurangan masif lahir dari politisasi yudisial dan penyebaran kesadaran palsu kepada publik. ”Semua dibuat seolah wajar tanpa pelanggaran hukum. Namun, sebenarnya keruntuhan demokrasi sedang terjadi,” katanya.