logo Kompas.id
Politik & HukumJalan Terjal Caleg Marjinal
Iklan

Jalan Terjal Caleg Marjinal

Diragukan kompetensinya untuk duduk di DPR harus dihadapi Jumiyem, caleg DPR dari kalangan pekerja rumah tangga ini.

Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU, NIKOLAUS HARBOWO, IQBAL BASYARI
· 7 menit baca
Jumiyem (49, kiri), pekerja rumah tangga yang maju sebagai calon anggota legislatif dari Partai Buruh, beberapa waktu lalu berfoto bersama calon pemilih di daerah pemilihan DI Yogyakarta.
ARSIP PRIBADI

Jumiyem (49, kiri), pekerja rumah tangga yang maju sebagai calon anggota legislatif dari Partai Buruh, beberapa waktu lalu berfoto bersama calon pemilih di daerah pemilihan DI Yogyakarta.

Dimulainya masa kampanye Pemilu 2024 pada 28 November 2023 sempat menciutkan nyali Jumiyem (49). Calon anggota legislatif atau caleg untuk Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Buruh yang bertarung di daerah pemilihan Daerah Istimewa Yogyakarta ini tak menyangka cemoohan demi cemoohan mengiringi masa awal ia memperkenalkan diri ikut berkontestasi menjadi wakil rakyat.

Ejekan harus ia terima karena tak memberikan buah tangan saat mendatangi konstituen. Begitu pula keraguan pada partai politik asalnya yang baru pertama kali menjadi peserta pemilu, hingga latar belakang profesinya sebagai pekerja rumah tangga (PRT).

”Waktu baru mendaftar memang santai. Tetapi, ketika mulai berkampaye, waduh. Ketika ada yang bertanya wani piro, nyali saya langsung ciut,” ungkap Jumiyem saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (24/1/2024).

Baca juga: Nasib RUU PPRT (Terus) ”Digantung” Pimpinan DPR

Diragukan

Profesi sebagai PRT yang digelutinya lebih dari 30 tahun di Yogyakarta tersebut cukup menjadi rintangan bagi Jumiyem dalam meyakinkan warga untuk mendukungnya di Pemilihan Legislatif 2024.

Walakin, Jumiyem yang mulai bekerja sebagai PRT sejak usia 15 tahun, setelah lulus sekolah menengah pertama (SMP), ini telah meneruskan pendidikan ke jenjang berikutnya. Ia pun menamatkan pendidikan sarjana hukum untuk memperkaya pengetahuan dan memiliki legitimasi dalam membela PRT. Namun, tetap saja, mayoritas warga yang ia temui belum memercayai kompetensinya untuk duduk di parlemen.

Meski demikian, karena misinya membela hak-hak setiap orang yang bekerja sebagai PRT, profesi yang digelutinya selama ini, dan kelas pekerja lainnya, Jumiyem tetap berjuang. Apalagi, hingga saat ini, Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) tak kunjung dibahas dan disahkan.

Jumiyem (49, kiri), pekerja rumah tangga yang maju sebagai calon anggota legislatif dari Partai Buruh.
ARSIP PRIBADI

Jumiyem (49, kiri), pekerja rumah tangga yang maju sebagai calon anggota legislatif dari Partai Buruh.

Tantangan lainnya yang masih dihadapi Deputi Bidang PRT Exco Pusat Partai Buruh ini adalah belum mendapatkan saksi untuk mengawasi perolehan suaranya di tiap tempat pemungutan suara (TPS) nanti. ”Ada calon saksi yang sebelumnya mau, tetapi tiba-tiba mengundurkan diri. Ada yang sejak awal menanyakan uang bayarannya, setelah saya bilang nanti dibicarakan yang penting didaftarkan dulu, juga tiba-tiba mundur,” ungkap Jumiyem, anggota Serikat PRT Tunas Mulia Yogyakarta ini.

Jumiyem tak patah arang. Setelah berdiskusi dengan rekannya sesama PRT, ia memutuskan berkampanye secara spesifik, yakni kepada calon pemilih yang memiliki kesamaan latar belakang dan profesi dengan dirinya. ”Di DI Yogyakarta ini, kami silent, sembunyi-sembunyi (dalam berkampanye). Kami, dari rumah ke rumah, menyambangi mereka untuk silaturahmi dan meminta dukungan,” ujarnya.

Sejumlah pabrik juga didatangi. Di sana, Jumiyem dan rekan-rekan menunggu para buruh dari luar pagar untuk membagikan stiker dan brosur serta mengajak mereka memilih dirinya dan parpol asalnya. Media sosial juga ia manfaatkan untuk kampanye.

Baca juga: Kala Caleg Memanfaatkan Panggung Kampanye Capres

Meski tak bisa memobilisasi konstituen sebagaimana caleg-caleg lainnya, Jumiyem tetap optimistis. Ia meyakini, gagasan mengesahkan RUU PPRT yang ia usung bisa dirasakan urgensinya oleh para calon pemilih.

Dengan model kampanye seperti itu, selama 58 hari berkampanye ia telah menghabiskan dana hingga Rp 10 juta yang diambil dari tabungannya semasa bekerja sebagai PRT yang digelutinya hingga 2022. Untuk menambah modal berkampanye, selama setahun terakhir, bersama dengan rekan PRT lain, ia fokus berjualan makanan dan pakaian di pasar malam dan acara-acara kota lainnya.

Meski tak bisa memobilisasi konstituen sebagaimana caleg-caleg lainnya, Jumiyem tetap optimistis. Ia meyakini, gagasan mengesahkan RUU PPRT yang ia usung bisa dirasakan urgensinya oleh para calon pemilih. Apalagi, selama hampir 20 tahun terlibat aktif dalam berbagai advokasi kasus-kasus yang merugikan PRT, Jumiyem melihat perlu ada perbaikan pada jam kerja hingga upah bagi PRT, termasuk mengatasi kekerasan terhadap PRT.

”Selama ini, kita sudah mengajukan draf RUU PPRT, tetapi sudah hampir 20 tahun belum ada perubahan. Harapan saya bisa masuk parlemen untuk bisa ikut mendorong, memengaruhi pimpinan di DPR untuk mengesahkan RUU PPRT agar PRT di Indonesia punya aturan perlindungan yang jelas,” tutur Jumiyem.

Untuk Pemilu 2024 ini, Jumiyem bukan satu-satunya PRT yang bakal berkontestasi. Ada pula Yuni Sri Rahayu, caleg DPRD DKI Jakarta untuk Dapil DKI Jakarta VII (Kecamatan Setiabudi, Kebayoran Baru, Cilandak, Kebayoran Lama, dan Pesanggrahan). Baik Jumiyem maupun Yuni maju dari Partai Buruh dan bagian dari Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT).

Aleta Baun
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA

Aleta Baun

Andalkan sumbangan

Aleta Kornelia Baun yang dikenal dengan panggilan Mama Aleta ini juga menghadapi terjalnya jalan menuju Senayan. Pejuang hak masyarakat adat dari Nusa Tenggara Timur ini mengaku, salah satu tantangan baginya dalam berkampanye sebagai caleg DPR adalah modal politik. Jika ingin hadir ke pertemuan-pertemuan, ia setidaknya harus menyiapkan biaya transportasi untuk dirinya dan konsumsi untuk konstituen.

Namun, ia akui, beban biaya politik itu terasa agak ringan karena ada saja kenalannya yang secara sukarela membantu. Bahkan, saat berkeliling di Sumba, Rote Ndao, dan Kupang, sejumlah warga menyiapkan lokasi dan konsumsi sendiri untuk menyimak kampanye yang akan ia sampaikan. Aleta menduga, dukungan itu didasari rasa kedekatan dan kepercayaan terhadap dirinya dalam memperjuangkan hak-hak mereka.

Iklan

”Saya kadang nangis karena tidak punya uang untuk jalan. Tapi, Tuhan baik, warga NTT sangat baik. Mereka kumpul dan ada pula yang mau sampai jual babi untuk bantu saya. Hasil jual babi itu kemudian saya buatkan stiker (untuk kampanye),” ungkap Aleta.

Baca juga: Dinanti, Komitmen Pemerintah untuk Mengesahkan RUU Masyarakat Adat

Aleta telah lama dikenal sebagai seorang aktivis lingkungan yang cukup berani. Pada 1990-an, ia pernah mengorganisasikan untuk protes melawan perusahaan tambang marmer di NTT. Kala itu, Aleta berusaha mempertahankan wilayah adat dari usaha pertambangan tersebut.

Aleta ingin terus memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Ia melihat, apa yang pernah dialaminya masih dialami banyak masyarakat adat di berbagai penjuru Nusantara hingga saat ini. Dengan duduk di parlemen, ia berharap bisa bersuara lantang untuk mempercepat pengesahan RUU Masyarakat Adat.

”Selama ini, suara mereka (masyarakat adat) tidak terdengar. Mereka punya hak, tetapi dihilangkan karena dianggap tidak terlalu penting. Saya ingin memperjuangkan hak-hak mereka, termasuk perempuan adat, sehingga bisa menjadi masyarakat adat yang berdaulat, mandiri, dan bermartabat,” ujar caleg dari Partai Perindo ini.

Selain Aleta, berdasarkan data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), setidaknya ada 32 utusan politik masyarakat adat yang bakal maju pada Pemilu 2024, baik untuk DPR maupun DPRD. Mereka diutus maju oleh masyarakat adat yang menjadi bagian dari anggota AMAN.

Caleg DPR RI Dapil Sulawesi Selatan I dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Noldus Pandin (berdiri kanan), menggelar pertemuan dengan pendukungnya beberapa waktu lalu.
DOKUMENTASI PRIBADI

Caleg DPR RI Dapil Sulawesi Selatan I dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Noldus Pandin (berdiri kanan), menggelar pertemuan dengan pendukungnya beberapa waktu lalu.

Kebijakan afirmatif

Dengan mengemban misi membawa aspirasi kelompok penyandang disabilitas, Noldus Pandin (45), penyandang tunadaksa, maju sebagai caleg DPR Dapil Sulawesi Selatan I dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Menurut dia, selama ini kelompok penyandang disabilitas belum mendapatkan kebijakan afirmatif yang memadai dari pemerintah. Dengan maju sebagai caleg, ia bertekad memperjuangkan hak-hak tersebut di parlemen.

Ia mencontohkan, selama ini penyandang disabilitas disamakan dengan nondifabel dalam mengakses kredit usaha rakyat. Seharusnya, ada kemudahan dan keringanan bagi penyandang disabilitas sehingga mampu berdaya dari segi ekonomi. Dalam hal infrastruktur dan fasilitas umum, masih banyak gedung yang sulit diakses oleh penyandang disabilitas.

”Saya merasa perlu berjuang menembus parlemen karena para penyandang disabilitas merindukan kebijakan-kebijakan afirmatif,” kata Noldus.

Namun, untuk merebut kursi di DPR, diakui Noldus, tidaklah mudah. Sebagai penyandang disabilitas, ia memiliki berbagai keterbatasan dalam berkampanye di Dapil Sulsel I yang meliputi Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, dan Selayar.

Baca juga: Stigma Hambat Pemberdayaan Difabel

Namun, untuk merebut kursi di DPR, diakui Noldus, tidaklah mudah. Sebagai penyandang disabilitas, ia memiliki berbagai keterbatasan dalam berkampanye di Dapil Sulsel I yang meliputi Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, dan Selayar. Dengan kondisi salah satu kakinya yang tak tumbuh normal akibat polio, sulit baginya menjangkau enam daerah itu karena wilayahnya sangat luas.

Oleh karena itu, ia fokus meraih suara dari kelompok difabel, sekaligus memberdayakan kelompok itu mengampanyekan dirinya ke masyarakat. Noldus juga mendatangi kelompok-kelompok agama yang memiliki pengaruh kuat dan berkampanye di media sosial. ”Saya berharap pemilih nondifabel memiliki simpati dan empati kepada penyandang disabilitas yang ingin berjuang membawa aspirasi kehidupan yang inklusif,” ucap Noldus.

Berdasarkan catatan dan rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait kondisi penegakan HAM di Indonesia selama 2023, yang dirilis pekan ini, terdapat 463 aduan dari kelompok rentan/marjinal yang meliputi difabel, perempuan, anak, pekerja migran Indonesia, dan masyarakat adat. Pelanggaran HAM bagi beberapa kelompok rentan ini terjadi karena kebijakannya belum tersedia, seperti bagi masyarakat adat dan PRT.

Atas dasar itu, Komnas HAM merekomendasikan bahwa perlu didorong percepatan pengesahan RUU masyarakat adat dan RUU PPRT untuk mendorong adanya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak mereka. Untuk kelompok penyandang disabilitas, dibutuhkan dorongan lebih kuat agar implementasi kebijakan dapat menjamin penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak mereka.

Anggota DPR menghadiri sidang tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR-DPD di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (14/8/2020).
AKBAR NUGROHO GUMAY

Anggota DPR menghadiri sidang tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR-DPD di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (14/8/2020).

Koordinator Jala PRT Lita Anggraini mengatakan, pencalonan Jumiyem dan Yuni merupakan bagian dari rencana jangka panjang untuk menggencarkan gerakan advokasi PRT tidak hanya di luar parlemen seperti yang dilakukan selama ini, tetapi juga di dalam parlemen. Keberadaan PRT sebagai anggota legislatif krusial. Sebab, selama ini keterwakilan kelompok tersebut dan pekerja informal lainnya masih diisi oleh kelas menengah. Akibatnya, perumusan legislasi terkait perlindungan kelompok tersebut juga tidak sepenuhnya menggunakan perspektif PRT.

Dengan adanya wakil rakyat dari kalangan PRT, diharapkan RUU PPRT yang sudah diusulkan sejak dua dekade lalu juga dapat segera dibahas dan disahkan menjadi undang-undang. Keberadaan UU PPRT dapat menjadi kunci perlindungan bagi PRT. ”RUU PPRT itu banyak sekali yang menentang karena para anggota legislatif lebih mewakili diri mereka sebagai pemberi kerja daripada keberpihakan pada konstituen,” ujar Lita.

Baca juga: Pemilu 2024 Jangan Pinggirkan Pemilih Rentan, seperti Tunawisma hingga Penderita HIV

Dibutuhkan konsistensi

Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM Anis Hidayah memandang, komitmen para caleg yang berasal dari kelompok marjinal untuk membawa perubahan di parlemen patut diapresiasi. Sebab, seperti catatan dan rekomendasi Komnas HAM terkait kondisi penegakan HAM tahun 2023, harus disadari bahwa perlindungan hak-hak kelompok marjinal dibutuhkan saat ini.

Anis berharap kehadiran para caleg dari kelompok marjinal ini dapat menjadi pendobrak sekat-sekat politik yang selama ini menghambat pengesahan RUU PPRT dan RUU Masyarakat Adat. Menurut dia, nasib kedua RUU itu sangat kontradiktif jika dibandingkan dengan undang-undang yang menjadi inisiatif pemerintah, seperti UU Cipta Kerja yang disahkan tidak lebih dari setahun.

Meski harus diakui, lanjut Anis, jika sudah di lingkungan parlemen, tidak mudah bagi mereka untuk bersuara. Apalagi, mereka juga merupakan anggota partai politik. ”Konsistensi mereka dibutuhkan untuk terus berani menyuarakan apa yang menjadi mimpi besar dan komitmen mereka,” katanya.

Editor:
MADINA NUSRAT
Bagikan