Hampir 90 Persen Responden "Kompas" Akan Gunakan Hak Pilih
Sebesar 89,2 persen responden survei ”Kompas” menyatakan akan menggunakan hak pilih di Pemilu 2024.
Antusiasme masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya menjadi modal sosial partisipasi pemilih pada Pemilu 2024. Tingkat partisipasi pemilih yang tinggi diharapkan mampu menjadi penopang legitimasi pemilu.
Antusiasme publik ini terekam dari hasil survei periodik Kompas periode Desember 2023. Sebesar 89,2 persen responden menyatakan akan menggunakan hak pilihnya. Hanya sekitar 10,4 persen responden yang masih dalam posisi ragu-ragu atau belum menentukan pasti.
Tingginya antusiasme publik itu dapat dipandang sebagai modal sosial yang akan mendukung kesuksesan penyelenggaraan pemilu. Dalam proses pemilu, modal sosial menjadi hal yang secara praktis cenderung berada di luar kendali Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilu. Hal ini berbeda dengan pengaturan anggaran atau tahapan pemilu yang jadi tanggung jawab mereka.
Meski begitu, perlu dicatat pula, keinginan berpartisipasi juga dipengaruhi sisi eksternal, seperti sosialisasi oleh KPU, kampanye politik peserta yang berkontestasi, lingkungan sosial, hingga media. Apa pun faktor yang memengaruhi, tingginya antusiasme publik menyambut pemilu menjadi cerminan positif. Fenomena ini hadir dalam tren partisipasi pemilih yang juga cenderung meningkat dalam dua pemilu terakhir.
Tingkat partisipasi pemilih dalam Pilpres 2014 berada pada angka 69,6 persen dan meningkat jadi 81,9 persen pada Pilpres 2019. Sementara tingkat partisipasi pemilih pada Pileg 2014 tercatat 75,1 persen dan meningkat jadi 81,7 persen tahun 2019.
Kecenderungan yang makin positif juga tergambar dalam pertanyaan yang lebih rinci dalam survei. Sebesar 81,7 persen responden mengaku akan memilih, baik untuk legislatif maupun pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Sementara itu, ada 6,3 persen responden yang hanya akan memilih presiden dan 1,2 persen yang hanya akan memilih legislatif. Sisanya terdapat 10,8 persen responden yang menjawab tidak tahu.
Baca juga: Jelang Tenggat Pindah Memilih, Pemilih Serbu Titik-titik Layanan KPU
Modal sosial
Di satu sisi, fenomena antusiasme tinggi publik untuk menggunakan hak pilihnya merupakan modal sosial yang penting dalam menyongsong pemilu. Di sisi lain, interaksi sosial yang terjadi di publik juga menjadi hal yang kuat memengaruhi partisipasi politik seseorang.
Scott McClurg, ilmuwan politik Universitas Illinois, Amerika Serikat, dalam sebuah artikel di jurnal yang mengulas jaringan sosial menjelaskan, interaksi sosial menciptakan peluang bagi individu untuk mengumpulkan informasi tentang politik yang melampaui batas-batas kemampuan pribadinya. Dalam interaksi sosial inilah, diskusi politik mungkin terjadi terutama malah dalam situasi-situasi yang informal.
Berlandaskan pandangan di atas, menjadi menarik untuk mencermati pula dinamika yang terjadi dalam unit dasar dalam sebuah pertalian sosial, yakni keluarga. Bahkan, jika berbicara arti politik dalam konteks yang lebih luas, dalam keluargalah seseorang pertama-tama belajar berpolitik.
Jika kembali melihat hasil survei, pengaruh keluarga dalam membentuk preferensi politik tampak kuat. Dengan proporsi paling besar, yakni 45,8 persen, responden mengaku semua anggota keluarga yang tinggal serumah dengannya memiliki pilihan capres dan cawapres yang sama.
Sementara itu, terdapat 16,6 persen responden yang menyatakan sebagian anggota keluarga memiliki pilihan berbeda. Lalu, 13,7 persen responden mengaku semua anggota keluarga memiliki pilihan berbeda-beda untuk capres dan cawapres. Sisanya, 3 persen responden, menyatakan ia sendiri yang memiliki pilihan berbeda di keluarganya.
Selain menunjukkan bahwa keluarga memberi pengaruh kuat dalam pilihan politik, data di atas juga menggambarkan dalam interaksi di tengah keluarga, pilihan politik menjadi hal yang didiskusikan atau minimal saling tahu di antara satu sama lain. Hanya 21 persen responden yang menjawab tidak tahu untuk pertanyaan ini.
Variabel penting keluarga dalam memengaruhi pilihan politik juga menjadi hal yang mungkin menjelaskan tingginya antusiasme publik dalam menyambut pemilu. Artinya, sebagai sebuah satuan terkecil dalam jaringan sosial, topik politik/pemilu ikut didiskusikan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, dalam situasi informal di keluarga.
Tantangan
Tingginya antusiasme publik menyongsong pemilu membuka peluang demokrasi berjalan menuju arah positif. Namun, fenomena ini juga menghadirkan tantangan bagi penyelenggara pemilu dan juga para kandidat yang akan berkontestasi. Salah satu risiko laten yang muncul dalam satu pemilu ke yang lain adalah politik uang.
Berhadapan dengan politik uang, publik cenderung menolak praktik itu. Sebanyak 38,5 persen responden menyatakan tidak akan menerima jika ada yang memberinya uang dan mengarahkan pilihan untuk kandidat tertentu. Bahkan, terdapat 6,2 persen responden yang mengaku tidak hanya tidak menerima, tetapi juga akan melaporkannya kepada pengawas pemilu setempat.
Artinya, ada 44,7 persen responden memberikan reaksi negatif pada politik uang. Berikutnya, terdapat 31,7 persen yang memilih langkah pragmatis, yakni akan menerima uangnya, tetapi tidak mengubah pilihan menjadi sesuai arahan pemberi uang. Hanya 7,1 persen responden yang menyatakan akan menerima uang dan mengikuti anjuran pilihan.
Meskipun masih ada yang memilih jalur pragmatis bahkan afirmatif terhadap politik uang, publik yang lebih banyak memberikan reaksi negatif patut diapresiasi. Dengan demikian, makin terbuka harapan bahwa bukan hanya antusiasme yang tinggi, tetapi publik juga menunjukkan sikap berdemokrasi yang semakin dewasa.
Pada akhirnya, antusiasme publik untuk menggunakan hak pilih yang dibarengi kedewasaan berdemokrasi sepatutnya tidak disia-siakan penyelenggara pemilu dan aktor politik yang berkontestasi.