Penerimaan dan Pengeluaran Rendah Dipertanyakan
Laporan dana kampanye dinilai sering kali jauh lebih rendah dari kondisi riil di lapangan.
JAKARTA, KOMPAS — Partai politik yang menyampaikan penerimaan dan pengeluaran di laporan awal dana kampanye atau LADK yang terlalu rendah patut dipertanyakan karena kemungkinan besar tidak mencerminkan situasi yang sesungguhnya. Terlebih, banyak calon anggota legislatif sering kali mengeluhkan biaya kampanye yang tinggi. Sejumlah partai politik menegaskan komitmennya untuk segera memperbaiki LADK mendekati kondisi sesungguhnya.
Data penerimaan dan pengeluaran LADK 18 parpol yang dirilis Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan ada disparitas cukup besar antara jumlah penerimaan dan pengeluaran yang tertinggi serta terendah. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menjadi parpol dengan penerimaan tertinggi (Rp 183 miliar) sekaligus parpol dengan pengeluaran tertinggi (Rp 115 miliar).
Sementara parpol dengan penerimaan terendah adalah Partai Bulan Bintang (PBB) senilai Rp 301 juta dan parpol yang laporan pengeluarannya terendah adalah Partai Solidaritas Indonesia atau PSI (Rp 180.000).
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja di Jakarta, Rabu (10/1/2024), mengatakan, kemungkinan parpol terburu-buru mengisi LADK untuk mematuhi tenggat pelaporan agar tidak melewati batas akhir yang ditentukan. Mereka baru akan memperbaiki laporan di masa perbaikan selama lima hari yang diberikan oleh KPU. Oleh karena itu, ia mengingatkan agar laporan terus diperbarui, terlebih saat laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye pada 23-29 Februari 2024.
Tidak terkecuali PSI yang menjadi parpol dengan laporan pengeluaran terendah sebanyak Rp 180.000. Menurut Bagja, nilai pengeluarannya tidak rasional karena sudah banyak melakukan kampanye. ”Mereka (PSI) kampanye di mana-mana, kok, enggak ada laporannya. Itu, kan, tidak logis dan tidak rasional,” ujarnya.
Mantan anggota Bawaslu, Wahidah Suaib, menilai, parpol yang melaporkan penerimaan dan pengeluaran di LADK yang cenderung rendah kemungkinan tidak mencerminkan kondisi nyata. Laporan dana kampanye sering kali jauh lebih rendah dari kondisi riil di lapangan. Sebab, parpol ataupun caleg sudah banyak melakukan kampanye besar-besaran. Terlebih, banyak caleg yang sering mengeluhkan tingginya biaya kampanye.
Baca juga: LADK 18 Parpol Belum Lengkap, PSI Laporkan Pengeluaran Kampanye Rp 180.000
Menurut dia, ada dua kemungkinan yang mengakibatkan pelaporan LADK tidak sesuai kondisi nyata. Pertama, parpol dan caleg tidak tertib administrasi sehingga mengabaikan transparansi dan akuntabilitas dana kampanye. Mereka tidak patuh pada aturan pelaporan dana kampanye yang mengharuskan seluruh penerimaan dan pengeluaran dicatat lengkap.
”Kalau ada partai yang laporan penerimaan dan pengeluarannya tinggi, boleh jadi mereka mampu mengoordinasi caleg-calegnya untuk taat administrasi dalam melaporkan dana kampanye,” ujarnya.
Sementara itu, parpol yang total penerimaan dan pengeluarannya rendah patut dicurigai menyembunyikan sumber pendanaan yang tidak sesuai aturan. Sebab, peserta pemilu dilarang menerima sumbangan dari beberapa pihak, yakni pihak asing; penyumbang yang tidak jelas identitasnya; pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah; serta pemerintah desa dan badan usaha milik desa.
Sumbangan juga tidak boleh berasal dari hasil tindak pidana yang telah terbukti berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan atau bertujuan menyembunyikan atau menyamarkan hasil tindak pidana.
Sumbangan dari pihak ketiga juga dibatasi, yakni untuk perseorangan maksimal Rp 2,5 miliar, kelompok maksimal Rp 25 miliar, serta perusahaan atau badan usaha nonpemerintah maksimal Rp 25 miliar.
”Sering kali laporan penerimaan dan pengeluaran yang rendah itu mungkin untuk menyembunyikan sumbangan-sumbangan tidak sesuai aturan,” kata Wahidah.
Bendahara Umum PDI-P Olly Dondokambey mengatakan telah menyetorkan LADK sesuai dengan kondisi riil pengeluaran yang dilakukan selama kampanye berlangsung. Laporan dimaksud memuat beberapa poin, di antaranya dana awal dan pembelian atribut kampanye.
Olly menyayangkan ada sejumlah pihak yang menyoroti LADK PDI-P karena mencantumkan jumlah dana kampanye paling besar dibandingkan parpol-parpol lainnya. Sorotan itu pun berlanjut pada intensi membesar-besarkan seolah ada kejanggalan dari sejumlah besar dana itu. Padahal, itu merupakan hitungan riil yang diambil dari realitas di lapangan.
”Padahal, kalau melihat atribut (kampanye) di bawah, siapa yang paling banyak?” kata Olly mempertanyakan maraknya alat peraga yang digunakan parpol-parpol lain.
Menurut dia, PDI-P berkomitmen terhadap transparansi dan akuntabilitas dana kampanye. Kendati demikian, hingga saat ini penggunaan dana yang dilaporkan memang masih dalam bentuk gelondongan, belum dirinci satu per satu. Sebab, pihaknya masih terus menerima laporan dari para caleg dan pengurus daerah.
Sekretaris Jenderal PBB Afriansyah Noor mengatakan, modal awal dana kampanye caleg dan partai memang tidak banyak. Penyumbang dari pihak ketiga juga tidak tidak banyak yang memberikan dana ke PBB. ”Sebagian memang belum melaporkan secara lengkap, tetapi mayoritas caleg tidak punya modal kampanye yang besar,” katanya.
Bendahara Umum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) Mirwan Amir mengatakan, total pengeluaran sebesar Rp 42 juta yang dilaporkan dalam LADK masih belum final. Sebagian caleg belum menyampaikan pengeluaran mereka secara lengkap karena tenggat penyampaian cukup singkat. Apalagi, para caleg juga sibuk berkampanye di daerah pemilihan masing-masing.
Menurut dia, PKN ingin mengejar waktu penyampaian tidak melewati batas akhir 7 Januari agar tidak dikenai sanksi diskualifikasi. Oleh karena itu, mereka melaporkan pengeluaran berdasarkan bukti penerimaan yang sudah terkumpul mengingat sebagian pengeluaran tidak ada kuitansi karena pembayaran lebih banyak melalui transfer.
”Namun, yang jelas pengeluarannya bukan segitu, lebih. Nanti kami akan memperbaiki laporannya dan kami arahkan caleg agar menyiapkan laporannya masing-masing sehingga tertib administrasi,” ucap Mirwan.
PKN menjadi parpol dengan total pengeluaran terendah kedua setelah PSI. Sebelumnya, Wakil Dewan Pembina PSI Grace Natalie mengatakan, total penerimaan dan pengeluaran LADK yang disampaikan ke KPU belum final. Pihaknya akan memperbaiki LADK sesuai ketentuan yang diatur dalam PKPU dana kampanye. ”LADK masih proses pelaporan dan belum final,” katanya.
Dalam LADK parpol juga terdapat 119 caleg di lima parpol yang tidak menyampaikan LADK, yakni dari Partai Gelombang Rakyat atau Gelora (110 caleg), PDI-P (5 caleg), Partai Buruh (2 caleg), serta Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Ummat masing-masing 1 caleg.
Sekretaris Jenderal Partai Gelora Mahfuz Sidik mengatakan, 110 caleg yang belum menyampaikan LADK disebabkan masalah teknis. Mereka kesulitan melaporkan dana kampanye karena sistem sering kali terganggu. Namun, pihaknya telah menginstruksikan 110 caleg yang belum menyampaikan LADK agar segera melaporkannya ke parpol. Gelora pun berkomitmen akan memenuhi seluruh administrasi pelaporan dana kampanye sesuai ketentuan.
Menurut dia, Gelora sejak awal berupaya tertib administrasi. Mereka memberikan sosialisasi dan memandu seluruh caleg untuk mengisi laporan dana kampanye sesuai dengan yang dilaksanakan di lapangan. Meskipun bisa asal-asalan dalam melaporkan LADK, Gelora memilih tertib sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas kepada pemilih. Laporan yang disampaikan pun mesti mendekati keadaan sesungguhnya.
”Sebenarnya kalau dilihat dari laporan yang sudah masuk dengan 110 anggota yang belum menyampaikan laporan, itu, kan, angka pengeluaran kampanye yang sudah dilaporkan relatif masih lebih tinggi ketimbang partai lain yang sudah hampir semua calegnya laporan, tetapi angka yang dilaporkannya, kan, kecil,” kata Mahfuz.
Ia menuturkan, hampir semua dana kampanye caleg berasal dari dana pribadi. Sebagai parpol baru, sulit mendapatkan sumbangan dari pihak ketiga. Apalagi pelaksanaan pileg dan pilpres secara bersamaan membuat para penyumbang lebih memilih memberikan sumbangan ke peserta pilpres ketimbang caleg atau parpol.
”Kalau obrolan sesama partai, situasinya hampir sama, partai ini pontang-panting mencari sumbangan dana kampanye. Karena 99 persen pendanaan kami dilakukan secara mandiri, jadi yang paling banyak adalah sumbangan dari istri, pakai uang dapur,” ucap Mahfuz.