Debat Capres dan Kerutinan yang Membosankan?
Debat capres-cawapres adalah pembeda penting antara pemilu di era demokrasi dan era otoriter di zaman Orba.
Saya mendengar suara-suara yang skeptis terhadap debat capres dan cawapres. Adakah manfaat dalam debat-debat semacam itu? Bukankah para pemilih yang sudah mempunyai pilihan yang fixed amat kecil kemungkinannya mengubah pilihan hanya karena menonton debat? Ada skeptisisme lain yang muncul belakangan: bukankah debat hanya menjadi gelanggang untuk menyerang calon lain dengan cara kurang etis?
Skeptisisme semacam itu bisa dipahami. Akhir-akhir ini kita memang melihat nada skeptis yang begitu meluas di banyak kalangan terdidik, terutama di kalangan pemilih muda. Publik menampakkan sentimen negatif terhadap perkembangan demokrasi di negeri ini. Skeptisisme terhadap debat capres-cawapres, saya kira hanyalah cerminan saja dari skeptisisme yang lebih luas di kalangan masyarakat itu.
Dengan segala kekurangannya, debat antarkandidat presiden atau wakil presiden adalah penanda penting dari fase penting dalam sejarah politik kita setelah reformasi. Debat capres-cawapres adalah pembeda penting antara pemilu di era demokrasi dan era otoriter di zaman Orba. Sebagian kalangan mungkin menganggap tradisi debat dalam pemilu sebagai sesuatu yang sudah biasa; sesuatu yang taken for granted.
Karena sudah menjadi kerutinan dalam setiap pemilu, debat dianggap tidak ”spesial” lagi. Debat telah kehilangan daya ”magis”-nya sebagai momen politik yang memiliki nilai khusus. Banyak hal dalam demokrasi saat ini dipandang sebagai ”kerutinan” yang sudah kehilangan aura kekhususannya. Karena telah rutin, banyak hal dalam praktik demokrasi dirasakan sebagai sesuatu yang membosankan.
Baca juga: Menimbang Pemilu 2024
Debat capres-cawapres adalah bagian dari ”kerutinan demokrasi” yang oleh sebagian pihak dipandang secara skeptis sebagai hal yang membosankan, a boring routine of democratic formalities.
Mereka yang memiliki perasaan semacam ini mungkin perlu berhenti sejenak dan melihat bagaimana politik dioperasikan dalam situasi otoriter dulu. Di zaman Orba, pemilu hanyalah ”formalitas” yang dipakai oleh rezim saat itu untuk mengesahkan ”hasil” yang sudah selesai jauh sebelum pemilu berlangsung. Tidak mungkin membayangkan adanya debat dalam situasi politik semacam itu. Segalanya telah ”diatur” Sang Penguasa. Tak ada kejutan dalam politik otoriter atau totaliter. Sebab, esensi dari politik otoriter adalah ”pengendalian” dan kontrol yang relatif total agar tidak terjadi kejutan di luar ”desain” yang telah direncanakan sang rezim.
Dengan segala kekurangan yang ada dalam praktik demokrasi kita saat ini, kita tak boleh lupa bahwa telah terjadi perubahan mendasar dan kategoris dalam cara kita mengelola politik di negeri ini. Dengan segala pesimisme yang dirasakan banyak pihak saat ini, kita jelas hidup di alam politik yang secara kategoris berbeda. Kita hidup di dalam sebuah demokrasi, bukan dalam sistem otoriter.
Meskipun mungkin ada tendensi-tendensi otoriter yang masih terbawa dalam praktik demokrasi sekarang, tak bisa disangkal sama sekali bahwa kita telah beranjak ke alam demokrasi. Salah satu penanda penting, meski sederhana, dari perubahan ini adalah adanya pemilu yang diselenggarakan secara relatif lebih terbuka. Kandidat yang bersaing diharuskan menguji gagasan dan program melalui debat yang bisa dilihat oleh publik luas.
Saya tahu debat ini memang tidak memiliki pengaruh yang signifikan bagi pemilih tertentu, terutama pemilih yang sudah menjatuhkan pilihan karena satu dan lain alasan. Namun, jelas debat ini memiliki dua fungsi penting. Pertama, ia merupakan sarana penting untuk edukasi publik. Melalui debat terbuka, kita bisa sedikit lebih tahu profil seorang kandidat. Jelas bahwa kemampuan berdebat memang tidak bisa mewakili seluruh profil seorang kandidat.
Kedua, debat memiliki manfaat penting bagi pemilih yang belum menentukan pilihan yang jelas (undecided voters); pemilih yang masih ragu-ragu. Meski jumlahnya tidak besar, mereka jelas merupakan segmen pemilih yang penting. Mereka ini mungkin bisa disebut sebagai, meminjam istilah Prof Mayling Oey-Gardiner di harian ini (Kompas, 6/1/2024), ”generasi matang”; pemilih yang hanya menjatuhkan pilihan manakala telah memiliki informasi yang cukup.
Banyak hal yang kita anggap rutin dalam sebuah demokrasi, lalu kehilangan nilai auratiknya. Namun, jika kita menoleh ke masa lampau yang otoriter, kerutinan itu memiliki nilai yang amat berharga. Jadi, jangan menganggap remeh debat capres-cawapres. Meski di sana tidak bisa melihat kelihaian retoris yang menggugah dari para kandidat yang berdebat, inilah penanda penting kita sedang menjalankan pemilu yang demokratis.