Pemimpin Birokrasi Harus Memberikan Teladan
Bawaslu RI menemukan 33 kasus pelanggaran netralitas ASN dalam Pemilu 2024. ASN yang terlibat harus ditindak tegas dan para pemimpin harus memberikan teladan yang tegas.
JAKARTA, KOMPAS — Ketatnya persaingan dalam Pemilu 2024 turut menyeret penjabat kepala daerah untuk bertindak tidak netral. Penindakan dan sanksi yang tegas kepada aparatur sipil negara atau ASN yang terbukti melanggar netralitas harus dilakukan. Pemimpin birokrasi mulai dari presiden, menteri, hingga kepala daerah harus memberikan teladan yang tegas agar tidak menimbulkan pesan dukungan kepada pihak tertentu.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja mengatakan, ada sejumlah kasus dugaan pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN) yang ditangani oleh Bawaslu RI dan Bawaslu di banyak daerah. Sebanyak 33 kasus di antaranya terbukti melakukan pelanggaran dan sudah direkomendasikan ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) untuk ditindaklanjuti. Bahkan, satu kasus di antaranya merupakan pelanggaran netralitas ASN yang dilakukan oleh Penjabat Bupati Muna Barat, Sulawesi Tenggara, Bahri.
”Rekomendasi sudah disampaikan ke KASN dan tembusan ke Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian,” ujarnya di Kantor Bawaslu, Jakarta, Jumat (5/1/2024).
Ada sejumlah kasus dugaan pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN) yang ditangani oleh Bawaslu RI dan Bawaslu di banyak daerah. Sebanyak 33 kasus di antaranya terbukti melakukan pelanggaran.
Penjabat Bupati Muna Barat Bahri dilaporkan ke Bawaslu Sulawesi Tenggara setelah videonya mendukung salah satu calon anggota Dewan Perwakilan Daerah dan bakal calon presiden. Bahri mengungkapkan, kejadian dalam video dirinya itu terjadi pada akhir Juli. Saat itu ia mengikuti rangkaian kegiatan hari jadi Muna Barat dengan mengundang salah satu tokoh pemuda setempat.
Pada kesempatan itu ia tidak menampik mengucapkan kata terkait salah satu calon presiden saat ini, yaitu Ganjar Pranowo. ”Karena yang diundang ini memang juga ketua relawan Ganjar. Itu harus dilihat lokasi, waktu, dan tempatnya. Saat itu belum ada penetapan seperti sekarang,” ujar Bahri (Kompas.id, 15/11/2023).
Menurut Bagja, penjabat kepala daerah juga berpotensi terlibat melakukan pelanggaran netralitas ASN. Sebab, mereka juga termasuk ASN yang dalam setiap pemilu selalu ada yang menunjukkan dukungan kepada kandidat tertentu. Bahkan, di tengah kompetisi pemilu yang sangat ketat, menjadi ”wajar” jika para penjabat terlibat ekses ke salah satu pihak yang berkontestasi.
Oleh karena itu, pihaknya terus berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan KASN untuk menyosialisasikan netralitas ASN dalam pemilu. Sosialisasi tidak hanya menyasar penjabat kepala daerah, tetapi juga seluruh ASN meliputi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), termasuk pegawai honorer dan pegawai kontrak.
Bagja menuturkan, pola pelanggaran netralitas ASN di Pemilu 2024 cenderung sama dengan Pemilu 2019. Sebagian pelanggaran ditunjukkan secara vulgar, tetapi kemungkinan lebih banyak yang dilakukan tidak secara terang-terangan. Oleh karena itu, Bawaslu meminta peran aktif masyarakat untuk melaporkan tindakan-tindakan ASN yang diduga melanggar prinsip netralitas agar bisa ditindaklanjuti.
Baca juga: Pelanggaran Netralitas ASN Kian Vulgar
Tenaga honorer jadi perhatian
Ia mencontohkan, pada Pemilu 2019 ada belasan camat di Makassar, Sulawesi Selatan, yang mengungkapkan dukungan ke capres-cawapres Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Dukungan yang vulgar itu diduga kembali terjadi di Pemilu 2024 dan beberapa di antaranya sedang didalami oleh Bawaslu. Salah satunya adalah kasus dukungan dari sejumlah personel satuan polisi pamong praja (satpol PP) di Garut, Jawa Barat, untuk calon wakil presiden nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, serta belasan ASN di Kota Bekasi, Jawa Barat, yang memamerkan kaus nomor punggung 2 saat berolahraga.
”Tenaga honorer mulai menjadi perhatian kami karena ada beberapa dugaan pelanggaran yang melibatkan pegawai honorer. Sebagai pelayan publik, mereka seharusnya juga bertindak netral, termasuk juga pendamping desa,” tutur Bagja.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Hurriyah menilai, potensi pelanggaran netralitas ASN di Pemilu 2024 sangat tinggi. Sebab, ada konflik kepentingan dari Presiden Joko Widodo ataupun menteri-menteri di kabinet yang memimpin kementerian/lembaga. Para pucuk pimpinan tersebut bahkan secara vulgar menunjukkan dukungan ke kandidat-kandidat tertentu.
”Itu, kan, memberi pesan yang saya kira sangat clear bahwa ASN harus mendukung sikap pemerintah, di mana pemerintah Jokowi hari ini memang bisa kita lihat punya keberpihakan yang sangat kuat ke salah satu pasangan capres-cawapres,” ujarnya.
Di sisi lain, lanjut Hurriyah, keberadaan penjabat kepala daerah justru membuat garis koordinasi menjadi lebih mudah. Sebab, para penjabat kepala daerah tidak memiliki legitimasi politik yang kuat dan harus mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada pemerintah pusat. Akibatnya, potensi mobilisasi ASN dalam Pemilu 2024 semakin besar meskipun sebagian besar tidak ditunjukkan secara vulgar kepada publik.
Mobilisasi ASN justru bisa menimbulkan keresahan publik terhadap proses pemilu yang jujur dan adil.
Menurut dia, mobilisasi ASN justru bisa menimbulkan keresahan publik terhadap proses pemilu yang jujur dan adil. Proses dan hasil pemilu menjadi kurang memiliki legitimasi sehingga bisa merugikan pasangan terpilih. ASN yang berperilaku tidak netral pun menjadi pihak yang dirugikan karena terancam sanksi.
Oleh karena itu, Bawaslu harus mampu menindak sebanyak mungkin ASN yang berperilaku tidak netral. Sanksi yang diberikan harus bisa memberikan efek jera, sekaligus tidak ada upaya melindungi ASN yang tidak netral. Sebab, sanksi yang sudah dijatuhkan bisa menjadi contoh bagi ASN lain untuk tidak mengikuti tindakan tersebut.
Lebih jauh, para pemimpin, dari presiden, menteri, hingga kepala daerah, semestinya tidak menunjukkan dukungan secara vulgar kepada kandidat tertentu. Mereka harus bisa membedakan peran saat menjadi aparatur negara dan politikus. Bahkan, saat menjalankan tugas sebagai pejabat negara, seharusnya tidak menunjukkan dukungan ataupun kebijakan tertentu yang terafiliasi kepada kandidat tertentu.
Pakar hukum tata negara dan pendiri Pusat Hukum dan Kebijakan, Bivitri Susanti, menilai, keberadaan Komisi Aparatur Sipil Negara tidak efektif mengawasi netralitas ASN dalam Pemilu 2024 setelah disahkannya Undang-Undang Aparatur Sipil Negara 2023 pada 3 Oktober 2023. Oleh karena itu, ia mendorong agar pejabat-pejabat di kantor pemerintahan lebih aktif mengawasi dan memberikan sanksi kepada ASN yang melanggar aturan.
Menurut dia, Bawaslu harus lebih aktif menyelidiki kasus pelanggaran netralitas dan memberikan rekomendasi kepada instansi terkait, seperti pemerintah daerah, untuk menindak ASN yang melanggar aturan.
”Dalam UUN ASN baru, keberadaan KASN tidak berfungsi. Jadi, memang atasan-atasan ASN harus lebih aktif untuk memberikan sanksi,” ujarnya setelah menghadiri acara peluncuran https://jagapemilu.com/, Jumat (5/1/2024).
Ia mencontohkan sikap Bupati Garut Rudy Gunawan dalam memberikan sanksi kepada anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Garut yang membuat video dukungan untuk Gibran sebagai langkah positif. ”Terlepas dari sanksi yang diberikan layak atau tidak, itu catatan baik. Ke depannya harus ada tindak lanjut seperti ini,” katanya.
Meskipun langkah Bupati Garut dalam memberikan sanksi kepada anggota satpol PP sudah cukup baik, menurut Bivitri, pengusutan kasus itu tidak boleh berhenti sampai di situ. Bawaslu harus mencari tahu siapa yang memberikan instruksi kepada satpol PP, baik itu instruksi yang bersifat struktural maupun politis.
”Satpol PP ini bisa dikatakan ’minions’, tidak ada kewenangannya. Sebenarnya, tidak adil kalau sepenuhnya memberikan sanksi kepada satpol PP, seperti potong gaji. Harus dicari tahu, apakah ada instruksi kepada satpol PP ini. Apalagi mencetak poster itu tidak murah. Saya menduga mereka tidak otomatis (bergerak) sendiri,” katanya.