logo Kompas.id
Politik & HukumDikritisi, Pembentukan Unit...
Iklan

Dikritisi, Pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Kasus HAM Masa Lalu

Salah satu kritik yang muncul, unit kerja presiden dikhawatirkan hanya berfokus pada pemulihan korban sehingga menutup pentingnya pengungkapan dan penegakan hukum terhadap para pelanggar hak asasi manusia.

Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/uMTt9QLp6s2V9wEz__pyJjTcfdw=/1024x660/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F11%2F3c49c6c3-1e27-4d05-800d-db9969b07fc1_jpg-720x464.jpg
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Aktivis dan sukarelawan bergabung dalam aksi diam Kamisan ke-612 yang digelar Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (28/11/2019). Aksi Kamisan rutin digelar untuk mengingatkan pemerintah akan belum tuntasnya kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu.

JAKARTA, KOMPAS — Keinginan pemerintah membentuk Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat melalui Mekanisme Non-yudisial dikritisi sejumlah kalangan. Salah satunya karena unit kerja itu dikhawatirkan hanya berfokus pada pemulihan korban sehingga menutup pentingnya pengungkapan dan penegakan hukum terhadap para pelaku pelanggaran hak asasi manusia.

Direktur Instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) Direktorat Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM Timbul Sinaga dalam diskusi daring bertajuk ”Menilik Draft Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemulihan Korban” yang diselenggarakan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Kamis (8/4/2021), menyampaikan, unit kerja yang dibentuk merupakan perwujudan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara non-yudisial oleh pemerintah, yakni pemulihan korban.

Editor:
Antonius Ponco Anggoro
Bagikan