logo Kompas.id
Politik & Hukum”Omnibus Law” dan Praktik...
Iklan

”Omnibus Law” dan Praktik Harmonisasi UU

Metode ”omnibus” bukan kali ini saja digunakan untuk menyederhanakan peraturan. Indonesia pernah mempraktikkannya pada aturan-aturan kolonial. Ada kelebihan dari metode ”omnibus” itu, tetapi banyak pula kelemahannya.

Oleh
Rini Kustiasih
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/0KfhGtJgXFP8UEVfJ2mKTR8mYdY=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F02%2F20200221_ENGLISH-OMNIBUS-LAW_C_web_1582294862.jpg
KOMPAS/ALIF ICHWAN

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bersama Ketua DPR Puan Maharani menunjukkan draf RUU Cipta Kerja di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (12/2/2020).

Omnibus law sebagai sebuah metode pembentukan undang-undang menarik perhatian publik. Pertama, karena metode ini belum pernah secara terbuka disebutkan oleh pembentuk legislasi sebagai salah satu metode pembentukan UU. Kedua, metode ini dinilai mengambil jalan pintas dan cepat dalam melakukan harmonisasi berbagai UU dalam kurun waktu tertentu.

Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikannya di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), 20 Oktober 2019, untuk pertama kali menyebutkan istilah omnibus law di hadapan publik. Ia mengusulkan dua UU besar pada periode kedua pemerintahannya, yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM. Pembentukan UU besar itu dimaksudkan untuk menyederhanakan dan melakukan harmonisasi berbagai UU. ”Masing-masing UU tersebut akan menjadi omnibus law, yakni satu UU yang sekaligus merevisi beberapa UU, bahkan puluhan UU,” katanya.

Editor:
Antonius Ponco Anggoro
Bagikan