Jaga Indonesia Damai
Marilah kita jaga Indonesia dengan segala kemampuan yang kita miliki.
Mendekati hari pelaksanaan pemilu, suasana kebangsaan sedang tidak baik-baik saja. Pembelahan masyarakat semakin tajam dan meruncing menyesuaikan pilihannya masing-masing. Celoteh di media sosial semakin vulgar dan cenderung kasar, mengungkapkan kekesalan dan ketidakpuasan. Seakan lupa bahwa kita hidup di sebuah negara yang menjunjung tinggi etika dan sopan santun.
Kondisi itu diperparah dengan sikap pejabat negara yang tidak menunjukkan diri sebagai negarawan. Tidak memberi contoh sebagaimana mestinya yang bisa menjadi panutan masyarakat. Etika dan kebijaksanaan tidak lagi dijunjung tinggi, jauh dari inti kepemimpinan, yakni ”Ing Ngarsa Sung Tuladha”.
Kita rindu muazin bangsa. Kita rindu penyejuk Nusantara. Kita rindu tokoh-tokoh yang menebarkan kedamaian tanpa pamrih, tanpa keinginan serta syahwat kekuasaan. Tokoh masyarakat yang tiada henti meniupkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Belakangan, beberapa begawan bangsa dalam Gerakan Nurani Bangsa (GNB), yang diwakili Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Quraish Shihab, Kardinal Ignatius Suharyo, Pendeta Gomar Gultom, dan Makarim Wibisono, muncul menyerukan harapan terselenggaranya pemilu yang damai dan tetap menjaga keutuhan bangsa.
Rasa-rasanya sangat diperlukan juga tampilnya para budayawan, cendekiawan, dan intelektual untuk bersama-sama menggaungkan ”Jaga Indonesia” dengan cara mengawal pemilu dan mengingatkan dengan tegas kepada pemegang kendali pemerintahan agar berlaku adil, jujur, serta tidak menghalalkan segala cara guna meraih kekuasaan.
Jika cara-cara kotor tetap dilakukan, perpecahan bangsa akan semakin nyata. Marilah kita jaga Indonesia dengan segala kemampuan yang kita punya.
Sri Handoko
Tugurejo, Semarang
Pinjaman Mahasiswa
Kompas memberitakan dan mengulas isu kesulitan mahasiswa membayar uang kuliah (Kompas, 30/1/2024). Kompas juga memaparkan berbagai hal terkait isu tersebut.
Permasalahan uang kuliah ini, seingat saya, sudah lama, setidaknya sudah ada ketika saya kuliah pada 1970-an. Awal 1980-an dikenal adanya Kredit Mahasiswa Indonesia yang akhirnya tidak berlanjut.
Selama puluhan tahun saya mengajar, dibarengi belasan tahun dalam jabatan struktural program studi di universitas negeri, saya berkesempatan ”melihat” dan ”merasakan” langsung persoalan mahasiswa yang muncul di setiap semester. Masalah ini rupanya berlanjut, malah tampak kian meluas.
Syukur kini ada bermacam alternatif skema pinjaman, yang tentu perlu terus disempurnakan. Yang menghangat saat ini adalah pinjaman daring menggandeng lembaga jasa keuangan, yang menimbulkan protes mahasiswa karena memberatkan.
Simulasi Kompas menyimpulkan bahwa pinjaman daring cukup memberatkan mengingat adanya bunga dan biaya tambahan (Kompas, 30/1/2024).
Membesarkan hati mendengar pemerintah tengah mematangkan pemberian pinjaman melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang tidak akan membebani mahasiswa (Kompas, 31/1/2024).
Apa pun alternatif yang ditawarkan kepada mahasiswa, yang utama adalah pinjaman itu janganlah membebani atau malah menjerumuskan mahasiswa (dan keluarganya) dalam jerat utang. Anak-anak kita harus dilindungi agar bisa fokus dan berkonsentrasi menyelesaikan studi, tidak ”diganggu” masalah finansial.
Eduard Lukman
Pejaten Barat, Jakarta Selatan