logo Kompas.id
OpiniJangan Takut Menjadi Oposisi
Iklan

Jangan Takut Menjadi Oposisi

Ajarilah rakyat tentang konsistensi perjuangan agar makna politik menjadi lebih bermartabat. Jangan takut beroposisi.

Oleh
SRI HANDOKO
· 3 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/eZoSPGkd9SzNTKHZsFczEBcgkAE=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F14%2Fe542b34e-95de-4e81-b122-a212e8ea702c_jpg.jpg

Saya memahami bahwa dalam politik tidak ada musuh abadi, yang ada hanyalah kepentingan. Akan tetapi, ajarilah rakyat tentang konsistensi agar makna politik menjadi lebih bermartabat.

Pada saat ini terdapat tiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang sedang berlaga untuk bersaing menjadi pemenang atau sebagai pemimpin di negeri ini. Dalam persaingan itu akan ada pihak yang menang dan akan ada pihak yang kalah.

Dalam demokrasi memang ada dua pilihan, yang meraih suara terbanyak akan menang dan yang mendapat suara dukungan lebih sedikit akan kalah. Sikap konsisten seharusnya dimulai dari titik ini. Ketika ada pihak yang menang, tentu tidak dengan jalan kecurangan, pihak yang kalah dengan ikhlas memberi kesempatan yang menang untuk mengatur dan mengelola pemerintahan.

Pihak yang kalah bukan berarti kehilangan peran, sebaliknya memosisikan diri sebagai oposisi, berperan sebagai penyeimbang atau kontrol di luar pemerintahan. Melakukan checks and balances. Fungsi oposisi sangat strategis dan bukan sebagai pecundang yang tidak ada nilainya.

Sayangnya, kenyataan di negeri kita tidak seperti harapan. Kepentingan politik selalu menjadi bahan pertimbangan utama sehingga dalam proses politik yang terjadi adalah kompromi dan deal-deal tersembunyi para elite politik. Ujung akhirnya, beberapa partai politik yang semula bersaing tiba-tiba berkoalisi, melebur menjadi satu kekuatan mengendalikan pemerintahan.

Kalau pada akhirnya akan bergabung dalam satu kabinet dengan alasan kepentingan bangsa dan lain-lain, kenapa harus ada kontestasi? Lebih baik kompromi saja sejak awal dengan asas musyawarah untuk mufakat mengelola negara ini.

Apa artinya ketika pemilihan presiden selesai tiba-tiba rakyat diberi suguhan tontonan, yakni para elite politik yang bertarung, tanpa disangka, bekerja sama membentuk koalisi baru. Sangat menyesakkan dada dan menyakiti rakyat yang telanjur terbelah. Apalagi, jika mencapai 70-80 persen kekuatan elektoral, koalisi baru itu benar-benar mematikan demokrasi dengan cara yang ”demokratis”. Maka, pada akhirnya masyarakat tersadar bahwa ternyata tidak semua partai politik berani bersikap konsisten, serta takut menjadi oposisi.

Iklan

Baca juga: Musim Gugur Oposisi

Baca juga: Oposisi dan Perimbangan Kekuatan

Sri Handoko

Tugurejo, Semarang

Atap Sekolah Ambruk

”Atap SMPN di Cirebon yang Sudah Direhab Ambruk, Enam Siswa Terluka”, demikian judul berita di Kompas.id, Jumat (12/1/2024). Peristiwa memprihatinkan tersebut tepatnya terjadi di SMP Negeri 2 Greged, Cirebon. Atap di dua kelas serta ruangan guru ambruk saat kegiatan belajar-mengajar. Beberapa siswa mengalami cedera.

Dari foto berita jelas terlihat struktur kuda-kuda atap dari baja ringan yang bengkok-bengkok atau melengkung beserta genteng bata merah/tanah liatnya yang berantakan. Sebuah referensi teknik menyebutkan bahwa konstruksi kuda-kuda atap dari baja ringan hanya cocok untuk mendukung genteng jenis spandeks atau atap seng atau lembaran sincalum karena ringan (kilogram per meter persegi atap). Titik ikatan hanya pada kekuatan jepitan antar-rangka oleh 2, 3 atau 4 sekrup pada tiap persendian. Dengan demikian, tidak disarankan untuk mendukung genteng bata merah, apalagi genteng dari semen, karena sangat berat.

Kasus ini sebuah gambaran umum proyek-proyek pemerintah yang cepat rusak karena sarat korupsi, kolusi, dan nepotisme. Berbeda dengan proyek-proyek peninggalan zaman Belanda yang terlihat masih berdiri kokoh hingga sekarang. Ambruknya moral dan attitude sebuah bangsa.

Djoko Madurianto Sunarto

Pugeran, Yogyakarta

Editor:
YOHANES KRISNAWAN
Bagikan