Demokrasi di Ujung Kematian
Supremasi hukum dipertaruhkan. Saatnya kita bergerak bersama untuk menyelamatkan demokrasi dari ujung kematian.
Pemilu 2024 menjadi pertaruhan demokrasi. Ia bisa mati secara sempurna atau selamat dari kematian. Rangkaian politik menuju pemilu justru ditandai dengan kemerosotan demokrasi yang bergerak ke ujung kematian.
Sebagai dua hal utama dalam demokrasi, toleransi dan kebebasan tidak diberlakukan secara adil dan setara. Persaingan politik pun terpolarisasi antara mereka yang ”bersama penguasa” dan ”melawan penguasa”.
Para elite politik yang loyal ”bersama penguasa” memperoleh hak keistimewaan politik, termasuk hak toleransi dan kebebasan. Namun, hak itu tidak berlaku bagi mereka yang tidak loyal kepada penguasa. Politik ketakutan, intimidasi, dan kriminalisasi menjadi senjata ampuh bagi penguasa otokratik untuk menekan mereka yang berani ”melawan penguasa”.
Baca juga: Menghidupkan Demokrasi
Sumber daya negara sering kali dipakai untuk mempersulit siapa pun yang terstigmatisasi tak loyal kepada penguasa. Situasi ini membunuh kekuatan oposisi yang kritis secara efektif. Ketiadaan kredo toleransi dan kebebasan yang adil dan setara bagi semua kontestan politik menandai kemerosotan demokrasi di ujung kematian.
Ujung kematian demokrasi juga terlihat pada robohnya supremasi hukum. Sebagai fondasi demokrasi, supremasi hukum justru diintervensi secara agresif untuk kepentingan politik penguasa dan mereka yang bersama penguasa, tanpa pertimbangan moral dan etika kenegaraan. Tak ada sikap kenegarawanan untuk menahan diri (self-restraint) agar terbebas dari ”politik cawe-cawe”. Inilah politik yang merobek-robek supremasi hukum yang telah membawa kehidupan demokrasi di ujung kematian.
”Demokrasi tidak pernah sepenuhnya stabil dan sekali supremasi hukum dirobohkan, begitu sulit untuk mengembalikannya,” kata filsuf politik Erica Benner di Universitas Yale (2017).
Inilah yang kita risaukan akhir-akhir ini: demokrasi kita jauh dari stabil. Supremasi hukum pun roboh dan hampir mustahil dapat tegak di tengah tata kelola pemerintahan yang sarat korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kita sebenarnya berada di titik kepercayaan terendah terhadap institusi hukum yang justru dikendalikan oleh mereka yang mengalami defisit integritas moral.
Padahal, tegaknya supremasi hukum dan institusi demokrasi lainnya menjadi instrumen terbaik untuk melayani kepentingan publik secara adil dan transparan. Apa yang terjadi akhir-akhir ini justru bergerak ke arah sebaliknya. Pelbagai institusi negara dieksploitasi secara agresif dan brutal dari lembaga untuk melayani kepentingan publik menjadi alat politik yang berkuasa dan sebagai bagian dari kerja pemenangan politik yang partisan menjelang pemilu.
Kebijakan publik yang berasal dari negara diselewengkan menjadi instrumen politik yang partisan, sesuai dengan kepentingan penguasa dan mereka yang bersama penguasa. Negara mengalami transformasi yang begitu personal dan personalitas penguasa pun dikultuskan secara membabi buta. Kebijakan publik dimanipulasi semata-mata sebagai kebaikan personal sang penguasa yang populis. Praktik penyelewengan kekuasaan negara ini membuat demokrasi kita berada di ujung kematian.
Saatnya kita bergerak bersama untuk menyelamatkan demokrasi dari ujung kematian. Kita memang tidak mempunyai kekuasaan dan uang yang berlimpah—dua instrumen utama yang diperagakan oleh pemimpin otokratik dalam kerja pemenangan pemilu. Namun, sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam demokrasi, kita mempunyai keberanian moral untuk memperjuangkan nilai yang diyakini sebagai kebenaran.
Baca juga: Ketahanan Masyarakat Sipil
Menjelang pemilu, kita bergerak bersama untuk memperjuangkan politik kebenaran dengan bersandar pada kecerdasan ”tuntunan hati nurani”, sesuai petuah bijak Ignatius Kardinal Suharyo, Uskup Agung Jakarta. Dengan kembali pada ”tuntunan hati nurani”, kita menjadi pemilih yang rasional, cerdas, dan bertanggung jawab, yang tidak terbuai oleh rayuan politik uang, tertipu oleh topeng kerakyatan, dan tergoda oleh pragmatisme kekuasaan.
Sebagai hari bersejarah yang amat sangat menentukan arah perjalanan bangsa ke depan—apa yang disuarakan secara bijak oleh Jakob Oetama sebagai amanat nurani bangsa, the conscience of a nation (2003)—pemilu harus kita sikapi sebagai momen politik kebenaran untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan tuntunan cahaya suci (holy light) yang bersemayam dan paling berharga dalam kehidupan diri kita sebagai manusia—suara hati nurani.