logo Kompas.id
OpiniKejahatan ”Biasa” Bernama...
Iklan

Kejahatan ”Biasa” Bernama Korupsi

Undang-Undang KUHP yang disahkan baru-baru ini bukan hanya mendefinisikan perbuatan korupsi, lebih dari itu turut mengubah usulan perubahan pemidanaannya. Ini mereduksi sifat khusus penanganan tindak pidana korupsi.

Oleh
ALVIN NICOLA
· 1 menit baca
Ilustrasi
HERYUNANTO

Ilustrasi

Dimasukkannya delik tindak pidana korupsi ke dalam Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU KUHP) hanya menyisakan keuntungan hampa bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Meskipun kebijakan rekodifikasi diklaim telah dilakukan secara terbuka dan terbatas, nyatanya perubahan pada sejumlah delik ini berpotensi menimbulkan efek jera yang minim karena mereduksi sifat khusus pada penanganan tindak pidana korupsi.

Perubahan hukum pidana yang sejak awal pembahasannya menuai gejolak panjang di tengah masyarakat ini telah secara tegas mencabut lima pasal krusial dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Kelima pasal tersebut meliputi Pasal 2 Ayat (1), Pasal 3, Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 13 sebagaimana tercantum pada bab tentang ketentuan penutup Pasal 622 Ayat 1 huruf L. Sebagai gantinya, pasal-pasal itu harus mengacu ke Pasal 603, Pasal 604, Pasal 605 dan Pasal 606 di dalam UU KUHP yang disahkan pada 6 November lalu.

Editor:
YOVITA ARIKA
Bagikan