logo Kompas.id
OpiniMenggagas ”Omnibus Law”...
Iklan

Menggagas ”Omnibus Law” Sisdiknas

Berbagai pemangku kepentingan pendidikan menilai bahwa regulasi sektor pendidikan dalam RUU Cipta Kerja sangat kontraproduktif dengan cita hukum membangun sumber daya manusia berkarakter Indonesia.

Oleh
CECEP DARMAWAN
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/NpHBA-Nn6n6glM4feskoI5jlma4=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2Fd5f5265e-aaa4-4ebe-979e-d3146e11361c_jpg.jpg
Kompas/Wawan H Prabowo

Penolakan RUU omnibus law tidak hanya disuarakan lewat aksi unjuk rasa saja, tetapi juga melalui coretan di dinding kota, seperti yang ditemui di kawasan Dukuh Atas, Jakarta, Sabtu (30/5/2020). Sejumlah kalangan menilai proses pembahasan RUU omnibus law tersebut tidak transparan karena minim partisipasi masyarakat.

Bak gayung bersambut, pemerintah dan DPR akhirnya sepakat mengeluarkan sektor pendidikan dari RUU Cipta Kerja. Pencabutan tersebut dilakukan setelah pemerintah dan DPR mendengar berbagai aspirasi, kritik, dan masukan dari berbagai kalangan, khususnya para akademisi berbagai perguruan tinggi. Bahkan, mayoritas fraksi di DPR pun akhirnya bersikap sama, yakni menolak dimasukkannya subkluster pendidikan dalam RUU Cipta Kerja.

Adapun pasal-pasal yang dicabut dari RUU Cipta Kerja di antaranya Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, dan Pasal 71. Ketentuan itu mengatur berbagai perubahan, penghapusan, dan pengaturan baru dari beberapa ketentuan UU, seperti UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, UU No 14/2015 tentang Guru Dosen, dan UU No 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran.

Editor:
yohaneskrisnawan
Bagikan