logo Kompas.id
β€Ί
Opiniβ€ΊPolitik Hukum RUU Cipta Kerja
Iklan

Politik Hukum RUU Cipta Kerja

Bola di tangan DPR. Jauh lebih mulia bagi DPR untuk tidak melanjutkan proses pembahasan tetapi meminta pemerintah untuk memperbaiki kekacauan paradigma, politik hukum dan pilihan cara omnibus yang terlalu besar ini.

Oleh
Zainal Arifin Mochtar
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/msmyYylwguaPEQ58PknQT-RM7MA=/1024x616/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F02%2Fa4460d97-5ebc-451e-b79c-b86d89adde96_jpg.jpg
KOMPAS/ALIF ICHWAN

Peserta Rapat Koordinasi Kepala Dinas Ketenagakerjaan Provinsi se-Indonesia hadir dalam pembahasan tentang RUU Cipta Kerja di Jakarta, Kamis (20/2/2020).

RUU Cipta Kerja dan "Omnibus Law" adalah dua padanan kata yang sering dibicarakan. Alasannya, karena RUU ini bermetodekan omnibus, yang menggabungkan begitu banyak UU dalam satu RUU. Ada 11 kluster, dengan isi 174 pasal tetapi menyisir kurang lebih 1.000-an di 79 UU multisektor.

Tentu ada pertanyaan besar tentang politik hukum di balik RUU ini. Sebelum bicara tentang politik hukumnya, ada hal penting berkaitan dengan paradigma negara dengan mengusung RUU ini. Paradigma punya keterkaitan erat dengan politik hukum. Apalagi, paradigma ini seharusnya selaras jika diterjemahkan ke dalam konsep politik hukum sebagai satu hal yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan.

Editor:
yohaneskrisnawan
Bagikan