Regulasi Belum Optimal Dukung Energi Bersih
Di tengah tren dunia terhadap energi bersih, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dikhawatirkan justru akan mendorong industri ekstraktif, termasuk batubara.
![https://cdn-assetd.kompas.id/DNtArQNdulbm7Em-aBxGne5ppUE=/1024x684/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F11%2F20201124WEN15_1606197271.jpg](https://cdn-assetd.kompas.id/DNtArQNdulbm7Em-aBxGne5ppUE=/1024x684/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F11%2F20201124WEN15_1606197271.jpg)
Warga melintasi tiang-tiang kincir angin laboratorium pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) di Mangunharjo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (24/11/2020). Penggunaan energi bersih saat ini menjadi tuntutan bersamaan dengan menguatnya isu perubahan iklim.
JAKARTA, KOMPAS β Regulasi di Indonesia dinilai belum mendukung sektor energi bersih secara optimal. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dikhawatirkan justru mendorong industri ekstraktif, khususnya batubara, sementara dunia sedang berupaya mencapai emisi nol karbon pada 2050.
UU No 11/2020 Pasal 39, yang membahas UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, menyebutkan, sisipan pasal baru di UU No 4/2009, yakni Pasal 128 A, menetapkan royalti nol persen untuk kegiatan peningkatan nilai tambang batubara.